M. Subhan Zamzami

Friday, January 23, 2009

Neo-Dzahiriyah

Akhir-akhir ini kita sering mendengar, membaca, dan berdiskusi tentang Neo-Khawarij, yaitu sebuah sekte Islam yang merupakan wajah baru dari Khawarij yang muncul pada masa-masa awal Islam. Menurut Musthafa as-Syak’ah di dalam bukunya “Islâm bilâ Madzâhib”, sekte ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah bin Wahb ar-Rasibi dan pertama kali dikenal dengan nama “al-Muhakkimah al-Ula”.

Sekte ini sering diidentikkan dengan pengkafiran terhadap pihak yang berbeda pendapat dengan mereka. Sebagaimana Khawarij identik dengan penghalalan darah pihak yang berbeda pendapat dari kalangan umat Islam sendiri, Neo-Khawarij yang ada sekarang juga diidentikkan dengan pembolehan menggunakan kekerasan atas nama agama terhadap pihak yang berbeda pandangan dan pengamalan atas sejumlah doktrin Islam.

Yang tak kalah pentingnya dari sekte ini adalah apa yang kita sebut dengan Neo-Dzahiriyah (ad-dzahiriyah al-judud) yang mempunyai kesamaan dengan Khawarij dalam beberapa hal. Madzhab ini merupakan wajah baru dari madzhab Dzahiriyah yang digagas oleh Dawud bin Ali al-Asfihani (202-270 H) yang selain dikenal hanya cukup memahami dan menafsirkan teks-teks partikular agama berdasarkan dzahirnya saja, mereka juga diidentikkan dengan pola pikir yang saklek.

Lebih dari itu, mereka mengingkari adanya hikmah dan tujuan (maqashid) di balik teks; menolak istihsan, sadz ad-Dzara`i’, al-Mashalih al-Mursalah; mereka juga menolak keabsahan pengunaan qiyas yang benar dalam menentukan suatu hukum karena ia akan membuka ruang ijtihad (Rasyad Hasan Khalil, Târîkh at-Tasyrî’ al-Islâmî: Adwâr Tathawwurihi, Mashâdiruhu, Madzâhibuhu al-Fiqhiyah, 2002). Intinya, mereka mendewakan makna literal teks dan menolak semua metode penalaran manusia terhadapnya berikut hasilnya.

Meskipun Neo-Dzahiriyah merupakan wajah baru dari madzhab Dzahiriyah yang pernah dikembangkan oleh Ibnu Hazm al-Andalusi (384-456 H), tetapi ada perbedaan fundamental antara keduanya. Perbedaan ini terletak pada tidak adanya kecakapan ilmu seperti yang dimiliki oleh para pengikut madzhab Dzahiriyah terdahulu pada diri Neo-Dzahiriyah, terutama pada pengetahuan tentang teks-teks al-Qur`an, hadits, dan atsar.

Menurut Yusuf al-Qardhawi di dalam bukunya “Dirâsah fî Fiqh Maqâshid as-Syarî’ah: Bayn al-Maqâshid al-Kulliyah wa an-Nushûs al-Juz`iyah”, Neo-Dzahiriyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok. Di antaranya ada yang cenderung bernuansa agamis seperti kelompok Salafi dan di antaranya lagi lebih bernuansa politis seperti Hizbuttahrir (HT), tetapi semua itu masih dengan ciri-ciri yang sama; pemahaman tekstual (harfiyah al-fahm).

Hanya bertumpu pada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci agama bukanlah pilihan satu-satunya yang tepat, karena bagaimanapun juga turunnya sejumlah ayat al-Qur`an tak lepas dari penyebab yang mengiringinya yang kita kenal dengan istilah “Asbâb an-Nuzûl”. Demikian pula dengan hadits, sejumlah hadits juga tak lepas dari penyebab yang mengiringinya yang kita kenal dengan nama “Asbâb al-Wurûd”. Bahkan hanya bertumpu pada makna literal teks berpotensi melahirkan pemahaman dan penafsiran yang salah.

Itulah ciri utama Neo-Dzahiriyah yang melahirkan penafsiran-penafsiran dangkal terhadap doktrin Islam. Di antaranya adalah sikap mereka terhadap kaum hawa yang hanya berkutat pada dapur dan kasur, dan penolakan mereka terhadap sesuatu yang datang dari pihak non-Islam. Oleh karena itu, tak jarang yang berasal dari mereka terutama Barat seperti demokrasi dicap sebagai barang haram yang wajib ditinggalkan. Mereka terbuai dengan kehidupan abad ke-7 sehingga mereka lupa bahwa sebenarnya mereka hidup di abad 21 yang mana hampir semua hal telah berubah.

Masih menurut Yusuf al-Qardhawi, selain berlebihan terhadap makna literal teks mereka juga merasa lebih enak dengan pendapat-pendapat yang memberatkan dibanding yang memudahkan; pendapat mereka paling dan pasti benar sementara pendapat yang berbeda pasti salah dan mereka pasti menolaknya; mencela pihak yang berseberangan dengan mereka dengan celaan berlebihan seperti mengatakan mereka bid’ah, fasik, dan kafir.

Beda tempat dan waktu, beda pula penyikapannya

Di Indonesia, dengan ciri-ciri yang dipaparkan Yusuf al-Qardawi di atas, kita bisa menemukan Neo-Dzahiriyah ini. Biasanya hanya berbekal sedikit ayat dan hadits, dengan memekikkan takbir mereka kerap dengan lantang menyalahkan pihak yang bersilang pendapat dengan mereka, cacian dan label sesat bahkan vonis kafirpun terhadap sesama umat Islam mereka lakukan.

Ada dugaan kuat bahwa tindakan-tindakan mereka lahir dari kesalahan pemahaman mereka terhadap doktrin Islam. Kesalahan ini lebih disebabkan oleh minimnya pengetahuan mereka terhadap tradisi Indonesia yang sangat berbeda dengan tradisi Arab abad ke-7. Perbedaan inilah yang luput dari jangkauan mereka, apalagi secara sosiologis dan antropologis kelompok Salafi dan Hizbuttahrir (HT), yang oleh Yusuf al-Qardhawi dimasukkan ke dalam Neo-Dzahiriyah, tak memiliki akar tradisi yang kuat di Indonesia.

Seakan-akan ber-islam yang benar adalah mengcopy-paste seluruh doktrin Islam yang tertuang di dalam al-Qur`an, hadits, dan pendapat-pendapat ulama terdahulu ke dalam kehidupan nyata di sebuah tempat yang mempunyai sejarah dan tradisi yang berbeda. Ironinya, tak sedikit dari mereka yang belum menyadari bahwa pendapat-pendapat tersebut tak bisa dilepaskan dari tradisi yang melingkupi pribadi masing-masing ulama yang mesti direkontekstualisasikan.

Barangkali mereka tak mengetahui bahwa ada sejumlah doktrin Islam yang merupakan warisan dari tradisi Arab dan Persia, sehingga mereka tak meyakini bahwa sejumlah doktrin itu sejatinya diadapsi dari tradisi setempat. Padahal tradisi-tradisi ini diadapsi Islam sesuai dengan prinsip dasar Islam dan sah sebagai doktrin Islam. Seorang intelektual Mesir, Khalil Abdul Karim, berhasil melacak akar-akar sejarah syariat Islam dan memaparkan fakta ini di dalam bukunya yang bertajuk “al-Judzûr at-Târikhiyah lî as-Syarî’ah al-Islâmiyah” dan membaginya ke dalam beberapa kategorisasi.

Dengan demikian, tak ada alasan untuk membumi-hanguskan semua tradisi lokal yang ada seraya hanya mendaku pada pemahaman makna literal teks-teks suci agama, karena tradisi lokal juga mesti dijadikan pertimbangan dalam menentukan suatu hukum. Oleh karena itu, metode pemahaman yang digunakan oleh Neo-Dzahiriyah tak bisa dijadikan acuan utama untuk memahami Islam, karena selain cenderung mengesampingkan tradisi lokal ia juga sebenarnya menolak ruh historis dan tujuan utama syariat.

Inilah kelemahan pemahaman ala Neo-Dzahiriyah yang tak mereka sadari. Bahkan mereka mengira bahwa pendapat mereka adalah satu-satunya pendapat yang pasti dan paling benar karena sesuai dengan makna literal teks. Dan dengan demikian, menurut mereka pendapat yang berbeda dengan mereka pasti salah. Mereka menganggap bahwa merekalah pemilik satu-satunya kebenaran di dunia ini. Oleh karena itu, tak aneh bila mereka merasa sebagai orang yang paling Islam!

Antara Neo-Khawarij dan Neo-Dzahiriyah

Tulisan ini tentu bukan tempat yang tepat untuk mengulas semua keyakinan Khawarij, apalagi sekte ini terpecah menjadi beberapa golongan: al-Azaraqah; an-Najdat; al-Bayhasiyah; al-‘Ajaridah (as-Shaltiyah, al-Maymuniyah, al-Hamziyah, al-Khalafiyah, al-Athrafiyah, as-Syu’aibiyah, dan al-Hazimiyah); ats-Tsa’alibah (al-Akhnasiyah, al-Ma’badiyah, ar-Rusyaidiyah, as-Syaybaniyah, al-Makramiyah, al-Mu’awimiyah, al-Majhuliyah, dan al-Bid’iyah); al-Ibadhiyah (al-Hafshiyah, al-Haritsiyah, dan al-Yazidiyah); dan as-Shufriyah.

Karena Neo-Dzahiriyah dan Neo-Khawarij sama-sama termasuk golongan yang ekstrem, maka kita bisa melihat adanya kesamaan sikap antara dua golongan ini, yaitu terutama sikap mereka yang acapkali menyalahkan pihak lain yang berseberangan dengan mereka, menuduhnya melakukan bid’ah, melabelinya fasik, bahkan mengkafirkannya, suatu sikap yang sangat berlebihan di dalam menyikapi perbedaan pendapat.

Sikap berlebihan tersebut bukan saja bisa kita temukan di dalam buku-buku dan tulisan-tulisan mereka, tetapi dalam kehidupan nyatapun kita juga bisa menemukannya. Selain hal ini merupakan dampak negatif dari sikap seseorang yang merasa pendapat kelompoknya adalah pendapat yang paling benar yang mewakili Islam secara keseluruhan tanpa memberikan porsi kebenaran dari kelompok lain, hal ini juga merupakan dampak destruktif dari sikap seseorang yang merasa dirinya paling Islam.

Ada ungkapan menarik tentang kemiripan Neo-Dzahiriyah dan Neo-Khawarij, yaitu ungkapan yang paling dekat dengan lisan dan tulisan Neo-Dzahiriyah adalah kata “Haram!” sementara ungkapan yang paling dekat dengan lisan dan tulisan Neo-Khawarij adalah kata “Kafir!”. Kalau Yusuf al-Qardhawi memasukkan kelompok Salafi dan Hizbuttahrir (HT) ke dalam Neo-Dzahiriyah secara pemahaman fikih, maka pantaskah bila keduanya juga dimasukkan dalam Neo-Khawarij secara akidah dengan adanya kemiripan antara Neo-Dzahiriyah dan Neo-Khawarij?
posted by Aan at 10:26 AM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home