M. Subhan Zamzami

Thursday, April 24, 2008

Agama dan Pemikiran Keagamaan

“Jelas bukan suatu keharusan penafsiran tertentu, sekali diterima harus selalu diterima; akan selalu ada ruang dan keharusan untuk penafsiran-penafsiran baru dan ini sebenarnya proses yang terus berlanjut.” (Prof. Fazlur Rahman)

Prolog
Dalam Pandangan Thomas Hobbes (1588-1679), manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Pandangan tokoh filsafat analitis tersebut seakan-akan menvonis seluruh manusia sebagai rival bagi lainnya, sehingga permusuhan, persengketaan, pertumpahan darah dan lain-lain di antara mereka merupakan sebuah keniscayaan, seraya mengeliminasi kecenderungan untuk bekerjasama sebagai perangai natural mereka.

Secara general, dalam diri manusia terdapat dua sifat berlawanan. Keduanya ibarat dua sisi uang logam yang bertolak punggung: pertama, kebaikan sebagai sifat positif manusia, dan kedua, kejahatan sebagai sifat negatif serta antagonis kebaikan. Keduanya senantiasa bergejolak saling berkompetisi demi menguasai lainnya.
Pertarungan di antara keduanya akan sangat mudah dimenangkan oleh kejahatan, dibawah kendali nafsu, karena selain didominasi oleh kenikmatan, kejahatan pun sangat mudah dilakukan. Lain halnya dengan kebaikan, selain harus melewati pelbagai rintangan sehingga sulit untuk dilakukan, di bawah kendali hati nurani, hasilnya pun sulit didapat dan tidak selalu memuaskan.
Kemenangan kejahatan atas kebaikan dalam diri manusia lambat laun akan melahirkan kesemrawutan di dalam kehidupan mereka, sehingga ketidakharmonisan di antara mereka pun tak terelakkan. Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membuat peraturan-peraturan dan menurunkannya dengan perantara para utusan sebagai pedoman hidup yang wajib dipatuhi serta diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun sangat disayangkan, agama yang merupakan titah suci Tuhan tidak lagi menebarkan ruh orisinilnya guna kemaslahatan hidup manusia. Ini disebabkan oleh intervensi manusia, dengan segala kekurangan dan interest-nya, atas teks-teks keagamaan, seakan-akan agama hanyalah milik kalangan tertentu, agama pun diseret kemana saja sesuai selera hati sehingga klaim-klaim kebenaran penafsiran bak pedang terhunus yang siap siaga memenggal keyakinan pihak lain yang bersebrangan.
Pelbagai aliran pemikiran memiliki interpretasi berbeda satu sama lain. Namun sebagian umat Islam hingga kini masih saja mensakralkan profanitas beragam interpreatsi tersebut, seolah-olah menjelma sebagai ‘suara Tuhan’ yang ‘haram’ diotak-atik, alih-alih didekonstruksi lantas direkonstruksi. Ulasan berikut ini merupakan ilustrasi singkat nan umum mengenai disparitas agama (ad-dîn) dan pemikiran keagamaan (al-fikr ad-dînî) serta hal yang terkait lainnya, yang merupakan salah satu faktor penyebab kelumpuhan sekaligus titik tolak pembaharuan pemikiran keagamaan.

Definisi Agama
Sebagaimana disinggung di atas, demi kemaslahatan manusia, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya membuat peraturan-peraturan dan menurunkannya melalui para utusan agung guna menyampaikan sekaligus menjelaskannya kepada manusia. Pelbagai peraturan tersebut disebut juga dengan agama. Secara etimologi, agama terdiri dari dua kata bahasa sansekerta, yaitu ‘a’ yang berarti ‘tidak’ dan ‘gama’ yang berarti ‘kacau’. Dengan demikian, agama berarti ‘tidak kacau’. Secara terminologi, agama adalah penerimaan atas tata aturan dari kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri. Pendapat lain mendefinisikannya sebagai peraturan Ilahi yang membimbing kepada kebenaran dalam kepercayaan dan kepada kebajikan dalam etika dan interaksi. Namun definisi kedua bersifat ekslusif untuk agama-agama ‘langit’ saja, dengan sampul kata petunjuk Ilahi sebagai hirarki tertinggi epistemologinya. Berbeda dengan definisi pertama yang secara eksplisit tidak menyinggung ‘petunjuk Ilahi’.
Meski dikotomi antara agama ‘langit’ dan agama ‘bumi’ hingga detik ini terus bergulir dan belum menemukan titik temu dari para sarjana, tapi dari dua definisi di atas bisa ditarik benang merah, bahwa signifikansi eksistensi agama adalah membimbing sekaligus mengikat manusia demi terwujudnya kesejahteraan mereka di dunia serta kehidupan berikutnya.

Islam Pada Era Muhammad saw.
Menyoal agama, dalam hal ini Islam, secara refleks kita memasuki kawasan maha luas yang dominan mempengaruhi tindak-tanduk individu dalam mengarungi kehidupan. Islam bersifat stagnan, tetapi relevansi hukumnya dalam merespons suatu persoalan seiring gelindingan zaman yang tiada henti menuju kea rah mana Tuhan tidak lagi mendapat tempat dalam pikiran manusia, masih dipertanyakan. Pandangan tadi merupakan refleksi dari adagium: “an-nushûsh wa al-ahkâm mutanâhiah wa tahaddiyât an-nâs wa hâjâtuhum mutajaddidah wa ghayr mutanâhiah.”
Pada saat Rasulullah saw. hidup, Islam hadir sebagai pelita kehidupan manusia. Ketika muncul persoalan, wahyu turun dan secara praktis pelbagai permasalahan dapat dipecahkan di bawah bimbingan beliau. Wahyu tersebut turun secara gradual selama kurang lebih 23 tahun, dan selama itu pula wahyu senantiasa berdialektika dengan tradisi Arab ketika itu. Relasi antara wahyu dengan tradisi Arab sangatlah erat, keduanya saling mempengaruhi. Maka harus diakui, bahwa selain pembentuk budaya (muntij tsaqâfî), wahyu juga adalah produk budaya (muntaj tsaqâfî).
Muhammad saw. adalah seorang manusia sekaligus rasul. Dimensi kemanusiaannya kadangakala tampak, sehingga kesalahan dan kekurangan sebagai karakter elementer manusia juga mewarnai kehidupan Nabi. Tak ayal jika Allah swt. menegur dan mengoreksi kesalahan beliau demi kesempurnaan agama seruannya. Beliau juga bukan manusia super yang mempunyai otoritas mutlak memaksakan ajarannya kepada seluruh manusia, serta menolak kontribusi pemikiran mereka dalam menjalankan ajaran Islam kala itu. Masukan pemikiran dari para sahabat, beliau tampung sebelum mendapatkan legitimasi pengabsahan dari Sang Pemegang otoritas mutlak, Allah swt.
Setelah Nabi wafat, wahyu pun berhenti dan tidak seorang pun yang berhak menempati atau mewarisi singgasana istimewanya. Walhasil, perbedaan pandangan para sahabat, yang sejatinya telah muncul pada saat Muhammad saw. hidup, kian meruyak dan merembes pada hal-hal sentral.

Islam Pasca Muhammad saw.
Dalam magnum opus-nya, al-Milal wa an-Nihal, Imam Abu al-Fath Muhammad bin Abdul-Karim atau lebih dikenal dengan Imam as-Syahrastani (w. 548) mencatat, secara general terdapat sepuluh perbedaan pendapat para sahabat: pertama, ketika Rasulullah saw. sakit menjelang wafat, yakni antara Umar bin Khattab dengan sahabat lainnya; kedua, masalah pasukan Usamah bin Zayd; ketiga, ketika Rasulullah saw. wafat; keempat, letak pemakaman beliau; kelima, Imâmah atau pengganti beliau; keenam, harta warisan famili beliau; ketujuh, pro-kontra memerangi penolak pembayaran zakat; kedelapan, penetapan Abu Bakar as-Shiddiq atas Umar bin Khattab sebagai penggantinya; kesembilan, syûrâ atas pembaiatan Ustman bin Affan yang menuai pro-kontra; kesepuluh, perang Jamal antara Ali bin Abu Thalib versus Thalhah bin Ubaydillah, az-Zubayr bin Awwam, dan Aisyah ra., persengkataan Ali bin Abu Thalib vis a vis Muawiyah bin Abu Sufyan, perang Shiffin, pembelotan Khawarij dan sokongan Syi`ah, Arbitrasi (tahkîm) dan lain-lain.
Perbedaan pandangan sebagai implikasi konkret ijtihad personal adalah wajar. Perbedaan lain semisal kodifikasi ayat-ayat al-Qur`an ke dalam satu mushaf, penulisan Hadits, shalat di Bani Quraydzah dan seterusnya. Keadaan ini semakin akut kala ada intervensi Khawarij, Syi’ah, serta sederetan aliran keagamaan lain atas teks-teks agama, dan meluasnya zona kekuasan Islam sejak era Muhammad saw. hingga Dinasti Umayah dan Abbasiyah berkuasa, umat Islam berbaur dengan aneka ragam agama, aliran, dan kebudayaan lainnya. Yang pada gilirannya, pengaruh pemikiran Persia dengan iluminasinya, Hindu dengan inkarnasinya, Kristen dengan konsep penambahan sifat atas dzat (ziyâdat as-shifat ‘alâ ad-dzât) turut mewarnai paradigma umat Islam, begitu pula cerita Isrâ`îliyyât dalam kitab-kitab tafsir pun tak terelakkan.
Meluasnya zona kekuasaan Islam menyebabkan timbulnya beragam intepretasi atas teks-teks agama. Aliran-aliran pemikiran kian membludak guna merespons persoalan yang mereka hadapi berdasar keluasan wawasan dan sosio-kultur setempat. Perbedaan tempat, situasi, dan kondisi mengharuskan mereka merekontekstualisasikan doktrin agama dengan interpretasi kontekstual, situasional, dan kondisional. Hal ini lebih disebabkan oleh karakter syari’ah Islam yang bersifat dinamis dan elastis (shâlih li kulli zamân wa makân).
Selain itu, perkembangan zaman menuntut adanya interpretasi yang relevan. Jadi, nonsense generasi pasca era Muhammad saw. dapat mengaplikasikan keseluruhan doktrin agama sebagaimana saat beliau hidup. Perbedaan curam antara era kenabian dengan zaman setelahnya, tentu menuntut perbedaan dalam pelbagai hal pula. Mengaplikasikan keseluruhan ajaran a la masa Nabi pada masa selanjutnya tidak lain hanya ‘pengibirian’ atas perkembangan nilai-nilai humanisme.
Di sini para ulama klasik masih disibukkan dengan penyelarasan antara teks dan konteks. Mendewakan teks seraya mengenyahkan konteks atau sebaliknya adalah kesalahan besar. Keduanya harus diatasi dengan penuh ketajaman berfikir guna menghindari kekeliruan interpretasi yang diharapkan. Peran rasio sebagai standar pembenahan (manâth at-taklîf) dan sebagai esensi manusia sangat diharapkan guna mengatasi persoalan tersebut. Namun, kapasitas rasio tetaplah diferensial dan sudah pasti level pemikiran satu sama lain juga heterogen, sehingga hasilnya pun pasti beragam.
Sejatinya, Allah swt. tidak menghendaki penafsiran tunggal an sich atas agama-Nya, semua diserahkan kepada manusia. Berbekal rasio, manusia bisa menafsirkan teks-teks agama demi kemaslahatan hidup. Rethingking atasnya sah-sah saja dilakukan selama tidak menabrak ‘rambu-rambu’ yang dicanangkan-Nya, Muhammad saw. pun ‘angkat tangan’ terhadap persoalan keduniaan. Agama bersifat sakral-absolut sedangkan rasio bersifat relative-profan, jadi ketika akal mengintervensi agama maka hasilnya adalah relatif absolut. Yang pertama konstan sedangkan yang kedua elastis dan dinamis, terus berubah sesuai tuntutan.
Namun sebagian umat Islam masih mensakralkan pelbagai corak penafsiran tersebut. Sehingga upaya memperbaharui atau mencari alternatif lain divonis telah merubah bahkan merusak agama itu sendiri. Agama, syari’ah, hanyalah sebuah metode untuk satu umat dan berbeda dengan umat lainnya. Syari’ah Musa as. misalnya, berbeda dengan syari’ah Isa as., begitu pula syari’ah Muhammad saw., masing-masing mempunyai karakter spesifik selaras dengan umat pada masanya. Syari’ah Islam dalam anggapan mayoritas umat Islam jauh dari nilai-nilai orisinilnya sebagaimana mestinya, ini disebabkan oleh intervensi para ulama dari masa ke masa. Ironisnya, para ulama yang mestinya menjaga ontentisitas nilai-nilai syari’ah mencerabutnya dan merubahnya menjadi hanya sebatas simbol-simbol tanpa spirit.
Terma syari’ah sendiri mengalami perkembangan di bawah kungkungan intervensi para ulama, yakni pertama, jalan atau metode Islam; kedua, segala hal yang ada di dalam al-Qur`an baik berupa metode-metode agama, aturan peribadatan, hukum muamalah; ketiga, semua hukum agama, aturan peribadatan, hukum muamalah, dan segala hal yang ada di dalam sunnah Nabi saw., pendapat para fuqaha, interpretasi para interpretator, teori para komentator, serta ajaran para agamawan.
Perkembangan terma syari’ah merupakan implikasi logis dari perkembangan zaman, keluasan wawasan umat, dan peliknya persoalan yang dihadapi. Namun tidaklah logis jika syari’ah dipahami sebagai segala peraturan kreasi para ulama di berbagai bidang keislaman. Karena jika hal ini dipaksakan, disparitas antara hal-hal sakral dengan hal-hal yang profan tidak akan jelas, berbaur. Perkembangan pemikiran keagamaan sebagai usaha ijtihadi terus bergulir mengikuti perkembangan zaman serta perlbagai hal lainnya.
Abdul-Karim Soroush, pemikir liberal Iran, memberi nama penjelasannya tentang perkembangan pengetahuan keagamaan dengan teori perluasan dan penyempitan (qabdh wa basth). Teori ini mengajukan tiga prinsip: pertama, prinsip koherensi atau keterpaduan dan korespondensi, yaitu segenap pemahaman tentang agama, benar ataupun tidak benar, dilakukan dalam konteks sekumpulan pengetahuan manusia dan disadari atau tidak, selalu menyesuaikan diri dengan kumpulan pengetahuan manusia tersebut; kedua, prinsip interpenetrasi, yaitu penyempitan atau perluasan dalam sistem pengetahuan manusia dapat merembes ke wilayah pemahaman kita tentang agama; ketiga, prinsip evolusi, yaitu sistem pengetahuan manusia atau ilmu pengetahuan dan filsafat manusia mengalami perluasan dan penyempitan.

Epilog
Kerancuan yang mewabah di kalangan umat Islam dewasa ini adalah penyamarataan antara agama yang sakral dengan pemikiran keagamaan yang profan, yang merupakan hasil usaha memahami teks-teks agama. Sehingga, setiap usaha untuk membenahi atau mengganti kekurangan metodologi pemikiran sebagai pusaka turun-temurun, divonis telah merubah agama, syari’ah, bahkan dikafirkan. Tradisi, menyalahkan dengan berlebihan dan kafir-mengkafirkan, merupakan cerminan umat yang berpikiran sempit. Ini merupakan penyakit kronis yang sukar disembuhkan.
Agama adalah hal yang diserukan Muhammad saw. berupa al-Qur`an dan Sunnah. Lugasnya, seabrek prinsip (mabâdi`) yang diserukan nabi atau rasul, sementara pemikiran keagamaan adalah pemikiran yang melingkupi agama dan senantiasa berdialektika dengannya, atau dalam kata lain: metode historis guna memahami sekumpulan prinsip di atas berikut prakteknya.
Adanya disparitas antara agama dan pemikiran keagamaan meniscayakan pembaharuan pemikiran keagamaan sebagai upaya membengkeli pemikiran umat Islam. Sehingga tantangan sains terhadap agama bisa dilampaui. Sains adalah upaya manusia memahami alam, sedangkan pemikiran keagamaan adalah upaya mereka memahami agama. Karena pemahaman kita tentang kebenaran alam semesta terus berkembang dan berubah, mengapa pemahaman kita tentang kebenaran agama tidak mengikuti? Mengapa kita tidak menganggap relevan perkembangan pemahaman kita tentang alam dan sistem wujud terhadap pemahaman kita tentang agama?.
Upaya tiada henti merelevansikan pemahaman kita atas agama merupakan sumbangsih khazanah intelektual Islam sebagai generasi penerus yang peduli akan kemajuan umat Islam setelah terpuruk sekian lama, yakni kemandegan pemikiran keagamaan sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke IV hijriah yang turut menambah rentetan kemunduran umat Islam di pelbagai bidang, salah satunya adalah sains. Tercatat sederetan nama para pembaharu guna mengejar kemajuan pihak lain, karena mereka sadar, bahwa rasa puas atas segala kreasi para ulama klasik dan hanya membubuhi syarh, hâsyiyah, dan taqrîr terhadapnya tidaklah cukup. Maka perlu adanya kontinuitas kreasi dan inovasi tiada henti guna merelevansikan teks-teks agama sebagai titah suci Tuhan. []
posted by Aan at 3:00 PM 0 comments