M. Subhan Zamzami

Sunday, May 25, 2008

Islam Perdana

Abstraksi: Artikel ini menyorot seputar pergumulan Islam dengan nilai-nilai non-Islam yang ada ketika Muhammad hidup. Nilai-nilai di sini bisa berupa tradisi, keyakinan keagamaan dan sistem pemerintahan, baik berupa tradisi Arab dengan paganismenya, Kristen, Yahudi, kebudayaan serta peradaban lain yang ada di Jazirah Arabia dan sekitarnya yang turut serta bergumul dengan nilai-nilai Islam dan umat Islam. Yang nantinya bisa dijadikan kunci utama memahami Islam dengan sempurna dari segi interaksinya dengan nilai-nilai non-Islam melalui pendekatan sosiologis-historis Jazirah Arabia periode kerasulan Muhammad.

Prolog
"Tidak ada perdamaian dunia, jika tidak ada perdamaian agama," begitulah seloroh Hans Kung, seorang teolog Kristen kenamaan Jerman.1 Benarkah demikian? Mari kita renungkan sejenak, sehingga bisa menilai statemennya secara tepat. Kalau kita lihat bentangan sejarah agama-agama sejak ribuan tahun yang lalu, agaknya statemen Kung bisa dibenarkan. Ini terbukti dari chaos yang acapkali terjadi di tengah-tengah para pemeluk agama yang turut memberikan corak tersendiri bagi kehidupan manusia, bahkan turut mempengaruhi kebijakan politik para elit kekuasaan. Raja Namrudz ,misalnya, membakar Ibrahim hidup-hidup karena keyakinannya diobrak-abrik. Ramses II menguber Musa dan Harun karena kasus serupa. Itu masih pada kasus individu dengan penguasa. Sedangkan dalam kasus penguasa versus penguasa, kita bisa memberikan bukti lamanya pertentangan antara imperium Bizantium dengan kekaisaran Persia dengan dalih agama dan kekuasaan sebelum dan ketika Muhammad hidup.

Sebagai unsur utama suatu peradaban, agama seringkali menjadi penyulut sumbu perselisihan manusia. Sebagaimana tradisi, agama juga menawarkan pandangan hidup (worldview/ weltanschauung/ weltansicht)2 bagi pemeluknya. Karena agama tidak hanya satu alias bermacam-macam, tentu saja memberikan perbedaan pandangan yang berujung pada perbedaan tindakan pula. Setiap individu atau komunitas bertindak sesuai dengan keyakinan yang dipegang. Tidak ayal bila benturan pandangan hidup sering berujung pada perbenturan tindakan. Tidak hanya agama, tradisi pun sebagai pandangan hidup juga tidak kalah urgennya dibanding agama. Ia juga kudu bergumul dengan tradisi-tradisi lain dan seterusnya. Di sinilah pluralitas sebagai sunnatullah harus diberikan porsi yang sebenarnya. Sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini, ia harus tetap dijaga dan dihormati. Jika tidak, jangan harap perdamaian dunia akan terwujud.

Lantas bagaimanakah cara terbaik yang telah diejawantahkan Muhammad saat menyerukan Islam sebagai agama semitik terakhir kepada masyarakat yang telah mempunyai pandangan hidup sendiri yang kokoh, di samping harus menyempurnakan serta menjadi saksi atas ajaran para utusan terdahulu, yang telah menjelma sebagai agama di tangan para pemeluknya (Yahudi dan Kristen)? Nah, dalam artikel ini, melalui pendekatan sosio-histo-teologis, penulis akan berusaha mengulas sedikit seputar respons Islam atas interaksi antarpemeluk (inter-follower) dan antarnilai (inter-value) dalam perspektif sejarah Islam awal di masa Muhammad. Kiranya ulasan ini akan sedikit membantu memahami Islam dengan sempurna serta mengungkap karakteristik fundamental syariah Islam dalam merespons realita yang ada, atau bisa dikatakan, merespons "nilai-nilai non-Islam".

Arab Pra-Islam
Jazirah Arabia bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Sebelah utara dibatasi oleh Palestina dan Padang Syam, sebelah timur oleh Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates), dan Teluk Persia, sebelah selatan oleh Samudera Hindia dan Teluk Aden, sedangkan sebelah barat oleh Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dibatasi oleh lautan, dari utara padang sahara, dan dari sebelah timur padang sahara dan Teluk Persia.3

Dalam kajian sosiologi, ada dua hal yang dapat mempengaruhi individu atau sebuah komunitas, yaitu letak geografis dan sistem peraturan masyarakat. Dengan adanya kenyataan ini, maka tidak heran bila penduduk Jazirah Arabia memiliki tradisi dan karakteristik yang berbeda dengan penduduk yang tinggal di daerah lain. Penduduk Arab sebelum kedatangan Islam di tangan Muhammad, masih tergolong masyarakat primitif, cepat terbawa emosi yang berujung pada tindakan kekerasan di mana pedang seringkali kudu menjadi hakim untuk menuntaskan perkara di antara mereka, berjiwa bebas yang menyebabkan mereka tidak mau tunduk pada sebuah kekuasaan kecuali pada kabilahnya dengan segenap loyalitas yang dimiliki dan lain sebagainya.

Hal ini juga berimbas pada tatacara keberagamaan mereka yang sesuai dengan kadar pengetahuan mereka kala itu. Mereka sudah merasa puas dengan paganisme sebagai agama warisan turun-temurun dari nenek moyang seraya tidak tertarik pada kepercayaan lain semisal Yahudi yang ada di Yatsrib dan Kristen di Najd, kecuali hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa menerimanya. Kehidupan sehari-hari, selain melayani berhala dan hidup berfoya-foya, mereka juga tangkas dalam dunia perdagangan. Sepanjang musim dingin mereka melakukan perjalanan ke Yaman, sementara saat musim dingin mereka ke Palestina sebagaimana diabadikan oleh al-Qur`an dalam surat Quraisy. Selama perjalanan itu, mereka mendapatkan jaminan keamanan dari para penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya.

Sebelum Muhammad lahir dan berlangsung hingga menjelang beliau wafat, Jazirah Arabia dikelilingi oleh dua kekuasaan raksasa, yaitu Imperium Bizantium sebagai penerus Imperium Romawi yang beragama Kristen dan Kekaisaran Persia yang beragama Majusi.4 Adapun sistem politik masyarakat Arab Jahiliah, kecuali kerajaan-kerajaan kecil di sebelah utara dan selatan, menurut sejarahwan kawakan dunia, Will Durant, adalah sistem primitif yang berasaskan pada ikatan kekerabatan dan terkumpul dalam suatu wadah kabilah. Tidak ada suatu kesatuan ikatan politik sebelum era Muhammad kecuali penamaan Yunani yang kurang terperinci.5

Ulasan di atas hanya ilustrasi singkat tentang Arab pra-Islam atau sebuah masa yang lazim disebut dengan masa Jahiliah. Menurut Ahmad Amin, Jahiliah di sini bukan berarti anti ilmu pengetahuan (dhidh al-'ilm), akan tetapi lebih tepat bila diartikan dengan kedunguan (al-safah), kemarahan (al-ghadhab), dan kesombongan (al-anafah).6 Sementara Muhammad Abid al-Jabiri menyatakan, bahwa yang dimaksud Jahiliah bukan saja berarti kebodohan, melainkan juga segala yang menyertai kebodohan beserta hasilnya atau kesemrawutan dan tidak adanya seorang pemimpin masyarakat, baik pada tataran politik (negara) maupun akhlak (agama), yaitu masa suatu kebudayaan yang membentang sekitar 150 tahun sebelum Islam.7

Setelah Islam datang, ia harus bergumul dengan nilai-nilai Arab, Yahudi, Kristen, dan nilai-nilai lain yang ada di Jazirah Arabia dan sekitarnya. Realita ini wajar adanya, sebab dalam kajian sosiologi, agama-agama semitik, seperti Yahudi, Kristen dan Islam tergolong fenomena baru dalam sejarah dunia. Sebab bila dikomparasikan dengan usia kehidupan manusia, usia tiga agama ini masih terlalu belia atau hanya beberapa ribu tahun saja. Lantas bagaimanakah metode Islam ala Muhammad dalam merespons realita ini? Ulasan selanjutnya berkenaan dengan beberapa persoalan yang kiranya perlu diberi porsi perhatian lebih. Hemat Penulis, inilah salah satu metode memahami esensi dan karakteristik elementer syariah Islam dalam merespons pluralitas corak kehidupan.

Islam vis â vis Arab
Berbekal sedikit ulasan sebelumnya tentang keeksisan serta kekokohan pelbagai sistem nilai di tengah-tengah penduduk Jazirah Arabia sebelum atau saat Islam datang, maka pada langkah selanjutnya, kita akan mengulas lebih rinci lagi seputar pergumulan antarnilai (inter-value) dan antarpemeluk (inter-follower) antara Islam dan Arab pada masa kerasulan Muhammad sekitar 14 abad silam. Ulasan ini bertolak dari tiga pendekatan sekaligus yaitu pendekatan sosio-histo-teologis, yang nantinya bisa sedikit membantu mengungkap persoalan arabisasi Islam yang kini masih dalam perdebatan hangat di kalangan ahli Islam.

1. Islam versus Tradisi Arab
Kalau kita cermati syariah Islam (al-Qur`an dan sunnah), kita akan menemukan sisi-sisi adaptif, adadtatif dan fleksibelitasnya. Hal ini lumrah, karena syariah Islam tidak bisa lepas begitu saja dari sosio-kultural penduduk Arab abad VI M sebagai lahan pertama dakwah Islam. Sosio-kultural mereka tergambar secara vulgar di dalam gundukan tradisi kehidupan mereka sehari-hari, inilah realita pertama yang harus dihadapi Islam. Sebelum melangkah pada ulasan seputar adanya saling keterpengaruhan antara keduanya, ada baiknya bila terlebih dahulu kita mengetahui karakteristik fundamental syariah Islam. Muhammad Sa'id al-Asymawi, seorang mantan hakim agung Mesir, telah menguaraikannya secara global sebagai berikut:

Pertama, turunnya syariah terkait dengan adanya masyarakat beragama, adapun penerapannya tergantung kepada adanya masyarakat tersebut; kedua, syariah turun karena ada sebab-sebab yang menuntutnya, adapun sebab-sebab tersebut tidak senantiasa sepadan dengannya; ketiga, tujuan syariah adalah kemaslahatan umum bagi masyarakat, maka demi merealisasikan kemaslahatan tersebut, sebagian syariah menghapus sebagian lainnya, sedangkan relevansinya terikat dengan kemajuan dan perubahan; keempat, sebagian hukum syariah khusus bagi Nabi saja, dan sebagian lagi hanya khusus bagi suatu perkara; kelima, syariah tidak terlepas dari realita masa lalu, akar-akarnya terdapat dalam masyarakat di mana ia turun, bahkan ia juga mengambil kaidah serta tradisi masyarakat yang nantinya menjelma sebagai hukum Islam; keenam, agama telah sempurna, adapun kesempurnaan syariah terwujud pada konsistensi usahanya guna menyandingi konteks masyarakat, mengantar manusia pada nilai-nilai humanisme dan spirit alam.8

Enam karakteristik syariah tersebut merupakan kunci serta fondasi seseorang untuk memahami Islam dengan baik. Kita bisa memanfaatkannya sebagai pisau analisa guna memahami syariah lebih mendalam serta menyandingkannya dengan tiga pendekatan yang telah dikemukakan sebelumnya. Pada langkah pertama, kita akan menerapkannya pada realita penduduk Arab beserta kekayaan tradisi mereka akan nilai-nilai kepercayaan, sosial kemasyarakatan, perpolitikan, hukum pidana dan lain sebagainya.

Sebagaimana utusan-utusan sebelumnya, Muhammad diutus Tuhan kepada masyarakat dengan bahasa mereka. Karena dengan metode seperti ini, ajaran yang dibawa dan diserukan bisa dipahami dengan mudah (Qs. 14: 4). Tuhan memilih bahasa Arab sebagai media perantara guna membumikan seluruh ajaran-Nya. Sehingga benarlah orang yang berpandangan, bahwa ketika Tuhan memilih dan menggunakan bahasa manusia sebagai media perantara dengan mereka, maka untuk pertama kalinya, ajaran Tuhan yang pada mulanya bersifat meta-historis telah berubah menjadi historis, karena secara otomatis ia telah masuk pada kubangan sejarah.

Kajian linguistik yang berkembang saat ini menyatakan, bahwa bahasa mempunyai peran signifikan dalam mempengaruhi pengguna bahasa tersebut. Melalui pendekatan linguistik, kita juga bisa memprediksikan ilmu pengetahuan yang sedang berkembang dalam suatu komunitas pada zaman tertentu.9 Bahasa (dialek) suku Quraisy Mekkah adalah bahasa terbaik di antara bahasa suku-suku di Jazirah Arabia ketika itu. Kemudian bahasa ini menjadi bahasa al-Qur`an dan salah satu syarat utama guna memahami Islam dengan baik. Meskipun di dalam al-Qur`an terdapat beberapa ayat yang dengan gamblang menyatakan bahwasanya bahasa al-Qur`an adalah murni bahasa Arab (Qs. 12: 2, 16: 103, 26: 195, 39: 28, 42: 7, 43: 3, 46:12), akan tetapi pada realitanya, bahasa-bahasa non-Arab juga banyak termaktub di dalamnya. Menurut Muhammad Sai'd al-Asymawi, bahasa-bahasa tersebut telah menjadi bahasa Arab atau dengan kata lain, orang-orang Arab telah menggunakannya ketika itu. Seperti kata firdaws, qisthâsh dan qinthâr berasal dari bahasa Yunani dan Latin, zanjabîl dari Persia, nifâq, hawariyyîn dan burhân dari Ethiopia, misykât, shubh dan bahâ` dari Sinkritisme, thûr, ifk, bâraka, tijârah, tannûr, stamma, jabbâr dan hannân dari Aramea,10 sedangkan jahannam, syaithân, dan iblîs dari Yahudi.11

Di samping merubah tatanan perekonomian dan politik, Islam juga merubah tatanan sosial, salah satunya dengan merubah beberapa pengertian kosa-kata serta membubuhinya dengan nilai-nilai baru Islam. Sekedar menyebutkan contoh, kata ikhwah (persaudaraan) yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, dirubah dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan yang lebih tinggi dari persaudaraan darah. Pun demikian kata karâmah (kemuliaan) yang sebelumnya bermakna memiliki banyak anak, harta dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian, dirubah dengan memperkenalkan unsur ketakwaan, begitu juga kata muruwwah (penghormatan). Semua kata tadi mengalami perubahan pengertian saat Islam membumi, yang banyak berbeda dari pengertian sebelumnya di masa Jahiliah.12 Inilah respons Islam atas bahasa Arab. Barangkali di sana masih banyak contoh-contoh lainnya yang belum terungkap.

Melalui fakta ada atau tidak adanya perubahan pengertian kosa-kata bahasa Arab tertentu, maka secara natural adanya saling keterpengaruhan antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai Arab tidak terbantahkan. Fokus ulasan selanjutnya adalah proses pembuktian seputar adanya saling keterpengaruhan tersebut, yang sisa-sisanya bisa ditemukan dalam khazanah tradisi Islam dan Arab paska pergumulan lama antara keduanya. Ulasan ini terdiri dari dua pembahasan: pertama, pengaruh Islam terhadap tradisi Arab; dan kedua, pengaruh tradisi Arab terhadap Islam.

Pertama, pengaruh Islam terhadap tradisi Arab. Islam datang untuk merubah semua hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah prinsip utama misi seluruh para nabi pra-Muhammad. Pergumulannya yang cukup lama dengan tradisi Arab pada masa Muhammad menimbulkan beberapa pergeseran tradisi Arab ke derajat yang lebih tinggi. Ajaran-ajaran Islam telah mengangkat derajat penalaran Arab, berpengaruh besar dalam merubah nilai barang dan akhlak mereka; sebagian nilainya kian tinggi sementara sebagian yang lain makin rendah. Seorang orientalis missionaris kenamaan, Ignaz Goldziher, menyatakan bahwasanya Islam mendesain kehidupan yang lebih tinggi daripada masa Jahiliah. Antara keduanya terdapat persamaan kendati perbedaannya lebih banyak. Menurutnya, dasar-dasar kemulian bagi masyarakat Arab pada zaman Jahiliah tergambar dari keberanian individualistik, kesetiaan tanpa batas, kemuliaan yang terlanjur berlebihan, loyalitas penuh terhadap kabilah, tidak pandang bulu saat balas dendam, membalas pihak yang melukainya atau kerabat dan kabilahnya baik dengan ucapan maupun perbuatan dan lain sebagainya. Sedangkan Islam mengajarkan taat kepada Tuhan serta perintah-Nya, sabar, memprioritaskan kepentingan agama daripada kepentingan pribadi, rasa menerima (al-qanâ'ah), tidak berbangga diri dan berfoya-foya, menjauhi dosa besar dan seterusnya.13 Jadi semua tradisi Arab tadi dan semua yang bertentangan dengan Islam, dimodifikasi dengan nilai-nilai baru Islam atau dirombak total secara gradual.

Kedua, pengaruh tradisi Arab terhadap Islam. Salah seorang yang telah mengkaji persoalan ini adalah Khalil Abdul-Karim dengan karya berharganya "al-Judzûr at-Târîkhiyah li as-Syarî'ah al-Islâmiyah". Dia menyatakan, memahami historisitas syariah Islam akan menghantarkan seseorang pada pemahaman yang baik tentang Islam.14 Statemen tersebut tentu ada benarnya juga, terlebih lagi jika kita mampu memudarkan segala prasangka negatif terhadap semua usaha untuk memaparkan apa adanya, walau harus melawan mainstream pemikiran umat Islam selama ini seraya tetap berusaha mengkajinya lebih kritis dan mendalam. Khalil Abdul-Karim mengangkat sebagian tradisi Arab yang diadapsi ( atau adopsi [?]) oleh Islam dan membaginya ke dalam lima kategori persoalan utama:

Pertama, simbol-simbol ibadah (as-sya'â`ir at-ta'abbudiyah). Seperti haji, umrah, mengagungkan Ka'bah, mengagungkan bulan Ramadhan, mengagungkan Ibrahim dan Isma'il, kumpul bareng pada hari Jum'at dan keharaman perang pada bulan-bulan suci.15
Kedua, simbol-simbol sosial (as-sya'â`ir al-ijtimâ'iyah). Seperti ruqyah (mantra-mantra), ta'âwîdz (jampi-jampi), perhatian terhadap unta dan binatang ternak, poligami, pemisahan antara orang Arab dengan non-Arab ('ajam), perbedaan antara orang Arab kota dengan Arab badui, kepedulian terhadap pertanian dan pekerjanya, ta'syîr, istijârah (mencari perlindungan), jiwâr (perlindungan keamanan), penghormatan terhadap nasab dan terakhir adalah perbudakan.16

Ketiga, simbol-simbol hukum pidana (as-sya'â`ir al-jazâ`iyah). Seperti 'âqilah (diyat yang ditanggung oleh kabilah "pembunuh" dalam perkara pembunuhan salah atau tidak sengaja (al-qatl al-khatha` aw syibh al-'amd), qisâmah (janji lima puluh penduduk suatu tempat perkara terjadinya pembunuhan tetapi pembunuhnya tidak diketahui, mereka dipilih oleh wali pihak terbunuh untuk berjanji bahwa mereka tidak membunuhnya dan tidak pula mengetahui siapa pembunuhnya, kemudian seluruh penduduk setempat itu dikenakan diyat).17 Begitu pula qishâsh (mengambil pembalasan yang sama), diyat (pembayaran sejumlah harta karena suatu tindak pidana terhadap suatu jiwa atau anggota badan), keharaman tiga tindakan pidana (hudûd) yaitu zina, mencuri dan meminum khamr.18

Keempat, simbol-simbol peperangan (as-sya'â`ir al-harbiyah). Seperti khams al-ghanâ`im (seperlima harta rampasan perang), salb (barang rampasan) dan shafiyah (rampasan perang khusus bagi komandan perang sebelum dibagikan kepada prajurit).19
Kelima, simbol-simbol perpolitikan (as-sya'â`ir as-siyâsiyah). Seperti khilâfah (pengganti pemimpin) dan syûrâ (musyawarah).20

Adapun tradisi yang berasal dari golongan Hunafâ` yang ada sebelum Islam adalah menjauhi penyembahan berhala serta tidak mengikuti hari rayanya, pengharaman daging korban yang disembelih untuk berhala serta tidak memakannya, keharaman khamr dan hukuman bagi peminumnya, keharaman riba, keharaman zina berikut hukuman bagi pelakunya, tahannuts di gua Hira di bulan Ramadhan, memperbanyak perberbuatan baik dan memberi makan orang miskin sepanjang bulan Ramadhan, memotong tangan pencuri, keharaman memakan bangkai, darah dan daging babi, larangan mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup serta membiayai pendidikan mereka, puasa, khitan, mandi besar, iman kepada hari berbangkit dari liang kubur, berkumpul di padang Mahsyar dan hisab bahwa yang berbuat kebaikan akan masuk surga dan yang berbuat kejelekan akan masuk neraka, iman kepada satu Tuhan dan berseru untuk menyembah-Nya.21

Itulah tradisi-tradisi Arab yang membekas pada Islam. Barangkali masih banyak contoh-contoh lain yang masih memerlukan riset lanjutan. Fakta ini tidaklah aneh, karena ketika seseorang mengkaji persoalan serupa dengan seksama, besar kemungkinan juga akan membuahkan kesimpulan serupa. Salah satu bukti kuatnya adalah firman Tuhan, " Wa Kadzâlika Anzalnâhu Hukm-an 'Arabiy-an......"(Qs. 13: 37). Jadi kategorisasi karakteristik syariah Islam versi Muhammad Sa'id al-Asymawi tadi benar adanya, apalagi poin kedua dan kelima. Kiranya ulasan simpel perihal pengaruh tradisi Arab terhadap Islam atau sebaliknya adalah bukti pertama sifat adaptif, adaptatif dan fleksibelitas syariah Islam dalam merespons nilai-nilai non-Islam. Lantas bagaimana Islam versus paganisme di zaman Muhammad, apakah kasus serupa dialami oleh keduanya seperti halnya Islam versus tradisi Arab?

2. Islam versus Paganisme
Salah satu pendapat menyatakan, bahwasanya asal mula paganisme bisa ditelusuri pada para pengikut Ibrahim. Diceritakan, saat itu ketika seorang menjauh dari Ka'bah dia mengambil batu dari batu Ka'bah lalu berputar mengelilinginya sebagaimana mengelilingi Ka'bah. Keadaan demikian terus berlangsung beberapa lama dan pada akhirnya mereka lupa akan ajaran Ibrahim malah berubah menyembah berhala. Menurut Ibn al-Kalabi, orang yang pertama kali merubah agama Isma'il adalah Amru bin Luhay. Pendapat ini disepakati oleh para sejahrawan selevel Ibn Hisyam dan al-Alusi.22 Tetapi pendapat ini agaknya kurang benar, dengan alasan ketika Ibrahim hidup beliau juga telah menghadapi masyarakat pagan di sekitarnya. Terlebih lagi ketika beliau harus menghadapi Namrudz, beliau dibakar hidup-hidup karena telah menghancurkan semua berhala objek penyembahan mereka kecuali berhala terbesar (Qs. 21: 52-71). Inilah suatu konsekuensi melawan mainstream adat-istiadat masyarakat.

Saat Islam muncul, tradisi paganisme telah merajalela di Jazirah Arabia. Masyarakat Arab kala itu sudah merasa puas dengan keyakinan warisan turun temurun nenek moyang tersebut. Mereka menyembah berhala, menyajikan aneka ragam makanan kepadanya dengan harapan akan mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. (Qs: 39: 3). Bentuk dan nama berhala-berhala itu bervariasi: (1) Shanam (patung) berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu; (2) Watsan (berhala) juga dibuat dari batu; (3) Nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Setiap kabilah melakukan ibadahnya sendiri-sendiri. Berhala-berhala tadi tersebar di mana-mana, seperti di dalam rumah, di dalam Ka'bah dan di luarnya, bahkan hampir di seluruh penjuru negeri Arab.23 Di kalangan masyarakat Arab, ada tiga berhala jenis shanam terkenal, yaitu Hubal berhala terbesar di dalam Ka'bah yang berbentuk manusia, Manat, Lata dan Uzza adalah berhala tertua. Tiga berhala terakhir menurut keyakinan orang-orang Jahiliah merupakan anak-anak perempuan Tuhan (Qs. 53: 19-20, 16: 57).24

Selain Yahudi dan Kristen, paganisme adalah keyakinan yang pertama kali dan paling sengit perselisihannya dengan Islam dan Muslimin sewaktu di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Muhammad berusaha menyadarkan kaum pagan bahwa sesembahanya itu tidak akan memberi manfaat atau kemalangan sekalipun. Sekitar 3 tahun pertama, beliau berdakwah kepada kerabat dekat serta beribadah secara diam-diam, baru setelah tahun keempat dakwah secara terang-terangan dilakukan (Qs. 15: 94).25 Pertama-tama, selama dua hari berturut-turut beliau mengundang para kerabat dekat ke rumahnya, di sanalah beliau menyeru mereka memeluk Islam serta meninggalkan paganisme. Setelah itu seruannya dialihkan ke seluruh penduduk Mekkah.26 Biasanya bulan-bulan suci dimanfaatkannya guna menyebarkan Islam kepada para peziarah Arab yang datang ke Mekkah.27 Di samping juga beliau pernah pergi ke Bani Tsaqif di Tha`if untuk mendapatkan dukungan dan suaka dari Tsaqif buat masyarakatnya sendiri, dengan harapan mereka juga akan menerima Islam, walaupun mereka menolak bahkan sampai mencederainya.28

Seruan Muhammad membuat para bangsawan Quraisy, suku yang paling sengit permusuhannya dengan Muslimin, berpikir. Merasa seruan itu merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Mula-mula mereka menyerangnya dengan cara mendiskreditkannya seraya mendustakan segala ajarannya. Langkah pertama dalam hal ini adalah membujuk penyair-penyair mereka: Abu Sufyan bin al-Harits, Amr bin Ash, dan Abdullah bin az-Ziba`ra agar mengejek Muhammad dan menyerangnya. Para penyair Muslim pun tampil membalas serangan mereka tanpa Muhammad sendiri yang harus melayaninya. Selain itu, mereka juga meminta beberapa mukjizat kepada beliau sebagai bukti kerasulannya, seperti mukjizat-mukjizat Musa dan Isa. Tidak cukup dengan itu, mereka mengejeknya dalam soal-soal mukjizat, malahan ejekan-ejekan mereka kian menjadi-jadi, mereka bertanya dan mendebat beliau seputar perkara gaib, di sanalah ayat ke-188 surah al-A'raf turun menanggapi mereka.29

Muhammad pun mulai vulgar mencela berhala-berhala mereka, yang sebelumnya tidak pernah dilakoninya. Tindakan ini menjadi persoalan besar bagi Quraisy yang menusuk hati dan meluapkan perhatian serius mereka. Para bangsawan Quraisy lalu menemui Abu Thalib, paman sekaligus pembela Muhammad, demi membujuknya untuk menghentikan seruan kemenakannya itu, tetapi tiga kali berturut-turut Abu Thalib menolak bujuk rayu mereka.30 Pernah juga dia mengajak Muhammad menghentikan seruannya, tetapi dengan tegas beliau menolaknya.31

Kala itu Muslimin masih lemah dan masih tidak berdaya untuk berperang, tidak bisa melawan Quraisy yang punya kekuasaan, harta, persiapan dan banyak jumlah mereka. Sementara Muhammad tidak punya apa-apa selain keimanan pada kebenaran yang diwahyukan padanya dan telah pula diserunya. Beliau meneruskan misinya, baginya lebih baik mati dengan membawa keimanan pada kebenaran itu daripada menyerah atau ragu-ragu.32 Sedangkan sikap permusuhan pihak Quraisy kian parah, mereka menyerang Muslimin, disiksanya mereka seraya dipaksa menanggalkan agamanya. Hampir serupa juga dialami Muhammad, beliau dicaci-maki, rumahnya dilempari batu, keluarganya diancam, bahkan hendak dibunuh. Tetapi dengan cobaan tersebut, beliau makin tabah, makin gigih meneruskan seruannya dan semua dihadapinya dengan sabar.33

Lantaran semua usaha tadi dianggap tidak berhasil, terpikir oleh Quraisy untuk mencari cara lain, yaitu menyuguhi Muhammad segala keiinginannya, baik berupa harta maupun pangkat sosial asalkan beliau mau menghentikan seruannya. Usaha ini juga tidak berhasil, mereka kembali memusuhi Muhammad dan Muslimin dengan menimpakan pelbagai bencana. Melihat siksaan pihak Quraisy kian membengkak, Muhammad menyarankan sebagian pengikutnya untuk hijrah ke Abissinia. Terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita, mereka pun hijrah ke sana dengan diam-diam demi mendapatkan perlindungan. Di Abissinia mereka mendapat tempat yang baik dari sorang Negus Kristiani, Ashhamah bin Abhar, hingga paska Muhammad hijrah ke Yatsrib.34

Saat para pemuka Quraisy menyadari segala macam tekanannya tidak berhasil meluluhkan Muslimin, mereka menggunakan cara lain memusuhi Muslimin, yaitu dengan cara memboikot mereka. Kaum pagan itu memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthallib dengan memutuskan hubungan, berbai'at dan mengasihi mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad kepada para pemuka Quraisy dalam keadaan terbunuh. Akhirnya Muslimin memutuskan hijrah ke Abissinia untuk yang kedua kalinya.35

Begitulah sekilas ulasan mengenai Islam dan paganisme di Mekkah saat permulaan dakwah Islam. Kendati keduanya pernah bergumul, tetapi dua-duanya berbeda dan tidak akan pernah bersatu. Mereka pernah adu kekuatan dalam satu medan peperangan hebat, perang Badr (623 M), perang terbesar Muslimin versus kaum pagan sekaligus penentu tegaknya Islam di dunia pada babak selanjutnya, selain perang Uhud, Khandaq, Hunayn dan beberapa peperangan lainnya. Tetapi mereka juga pernah mengadakan perjanjian Hudaibiya (Maret 628), yang disetujui bersama oleh kedua belah pihak. Permusuhan mereka terus berlangsung hingga pembebasan Mekkah, yaitu setelah pihak Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiya. Salah satu teladan Muhammad adalah pemberian amnesti pada pihak Quraisy paska pembebasan Mekkah, beliau membiarkan mereka tetap pada keyakinannya tanpa menuntut balas dendam atas perlakuan kasar mereka terhadap Muslimin pra-hijrah ke Yatsrib.36

Di sinilah kita bisa memahami karakteristik ayat-ayat Makkiyah yang lebih bercorak perihal penegasan keesaan Tuhan, anjuran memerangi kesalahan kepercayaan kaum pagan Mekkah dan sekitarnya, menetapkan risalah, kebangkitan dari alam kubur, kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan kenikmatannya, mendebat kaum musyrik melalui penalaran rasio serta tanda-tanda penciptaan, menaruh dasar-dasar umum legislasi dan keutamaan-keutamaan akhlak sebagai sandaran masyarakat, menyingkap kriminalitas kaum musyrik, pertumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim, mengubur anak perempuan hidup-hidup, curang dalam timbangan, cerita para nabi dan umat terdahulu dan lain sebagainya.37 Pelbagai karakteristik ini sesuai dengan penduduk Mekkah yang mayoritas menyembah berhala dan berkepribadian keras kepala. Fakta ini merupakan bukti kedua bahwa syariah Islam bersifat adaptif, adaptatif dan fleksibel karena tidak bisa lepas begitu saja dengan setting sosio-kultural penduduk Arab abad VI M.

Islam vis â vis Yahudi
Setelah mengulas seputar Islam dan paganisme, ulasan selanjutnya seputar Islam versus Yahudi. Mengiringi ulasan sebelumnya, ulasan ini juga dititikberatkan kepada persoalan seputar interaksi antarnilai (inter-value) dan antarpemeluk (inter-follower) antara Islam dengan Yahudi yang terjadi pada masa kerasulan Muhammad, yaitu dengan menggunakan tiga pendekatan sosio-histo-teologis sekaligus.

Ada dua pendapat terkuat mengenai Yahudi sebagai agama semitik atau bukan. Pertama, ia adalah agama samawi yang dibawa oleh Musa (Moses) kepada Bani Isra`il tetapi telah diselewengkan oleh para pendeta mereka atau pengikutnya. Demi meneguhkan pendapat ini, para pendukungnya biasa melabuhkan argumen mereka pada teks-teks keagamaan yang ada (Qs. 2: 75,79, 4: 46, 5: 13). Pendapat ini mendominasi pemikiran mayoritas Muslimin. Kedua, ia bukan agama semitik yang dibawa oleh Musa atau utusan-utusan Tuhan yang lain. Dengan argumentasi, bahwa Islam bukanlah agama yang lebih senior daripada Yahudi dan Kristen, dan juga bukan lebih muda ataupun sama dengan agama-agama lain di dunia ini. Pada faktanya, Islam adalah satu-satunya agama samawi yang secara benar dianugerahkan kepada manusia untuk setiap masa dan tempat. Pada dasarnya, Islam sangat berbeda dengan Yahudi dan Kristen. Dialah satu-satunya agama samawi yang dibawa oleh semua nabi-nabi terdahulu, baik Ibrahim, Musa ataupun Isa. Dengan datangnya Nabi terakhir, Muhammad, agama samawi ini akhirnya disahkan Tuhan sebagai agama-Nya, dengan nama "Islam".38 Dua pendapat di atas hingga kini masih dalam perdebatan sengit di kalangan para ahli dan belum mencapai sebuah kesepakatan.

Lepas dari perdebatan semacam itu, kaum Yahudi dan Kristiani mempunyai kedudukan khusus dalam pandangan Muslimin karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islam). Dengan kata lain, umat Islam mempercayai bahwa agama mereka adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari dua agama tersebut. Inti yang disampaikan Tuhan kepada Muhammad adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan kepada semua nabi. Oleh karena itu, sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Tuhan adalah umat yang tunggal. Akan tetapi pembetulan dan penyempurnaan selalu diperlukan dari waktu ke waktu, sampai akhirnya tiba saatnya tampilnya Muhammad. Menurut al-Qur`an, ajaran-ajaran kebenaran itu dalam proses sejarah mengalami pelbagai bentuk penyimpangan (Qs. 42: 13, 23: 53, 3: 84-85, 3: 64).39 Persoalannya kini adalah bagaimanakah pola penyikapan mereka atas perbedaan doktrin yang membentang luas antara mereka, yang turut berimbas pada pola interaksi antara pemelukya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Akbar. S. Ahmed, ada suatu hubungan ideologis dan teologis yang erat antara Kristen, Yahudi dan Islam: ketiga-tiganya percaya pada gagasan satu Tuhan; mereka juga percaya bahwa kita adalah makhluk hidup yang untuk sementara ditaruh di dunia ini dan bahwa ada pertanggungjawaban terhadap tindakan-tindakan kita, setelah hidup. Al-Qur`an berulang-ulang menunjukkan bahwa Yahudi dan Kristen adalah 'Ahli Kitab', bahwa kitab-kitab asli mereka berasal dari Tuhan. Jadi, bagi Islam nabi-nabi Yahudi dan Kristen juga nabi-nabi Islam. Nabi-nabi Islam mulai dari Adam, dan termasuk Nuh (Noah), Ibrahim (Abraham), Isma'il (Ishmael), Ishak (Isac), Luth (Lot), Yakub (Jacob), Yusuf (Joseph), Musa (Moses), dan Ayyub (Job). Bahkan ada suatu hubungan silsilah dengan Yahudi: Yahudi mengklaim leluhurnya Ibrahim melalui anaknya Ishak sementara orang-orang Arab mengklaim leluhurnya melalui anak Ibrahim yaitu Isma'il.40

Kaum Yahudi di Jazirah Arabia merupakan imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yatsrib. Mengenai awal mula kedatangan mereka ke Jazirah Arabia telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ahli sejarah: pertama, pada zaman Dawud; kedua, pada zaman Raja Hazqiyal yang memerintah negeri Yahudza dari tahun 717 hingga 690 SM; ketiga, hijrah besar-besaran kaum Yahudi ke Jazirah Arabia terjadi pada abad pertama M setelah diusir oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 M.41 Ajaran-ajaran Yahudi di sana telah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, begitu pula infiltrasi sebagian prinsip-prinsip undang-undang Romawi.42 Sependek wawasan penulis, sejarah perihal pergumulan Islam dengan Yahudi di Mekkah tidak sebanyak dan seseru di Yatsrib paska hijrahnya Muslimin ke sana.

Di Mekkah nasib mereka seperti umat Kristiani, jumlah mereka sedikit dan hanya terdiri dari budak. Barangkali penyebabnya adalah adanya peraturan kala itu yang tidak mengizinkan seorang pun dari Ahli Kitab memasuki Mekkah kecuali tenaga kerja yang tidak akan bicara tentang agama atau kitabnya atau sistem penduduk Mekkah yang merujuk pada sistem kabilah, maka tempat tinggal mereka pun jauh dari Ka'bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Kala itu pembicaraan seputar akan datangnya seorang Nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu sudah cukup membuat heboh mereka.43 Saat bulan-bulan suci tepatnya di Ukadz, daerak dekat Mekkah, sebagaimana kaum pagan dan Kristen, kaum Yahudi bebas juga bebas menyerukan agama mereka.44 Besar kemungkinan, sebagian dari mereka tinggal atau pernah singgah di Mekkah dalam rangka perdagangan atau pekerjaan-pekerjaan lain dan juga menyaksikan perseteruan Islam versus paganisme. Karena data penulis seputar Islam dan Yahudi di Mekkah kurang memadahi, kita beranjak pada pembahasan tersebut yang meletup di Madinah.

Kaum Yahudi di Yatsrib terdiri dari tiga suku besar, yaitu Bani Nadhir, Bani Qaynuqa dan Bani Quraydzah. Mereka menetap dan berkembang di sana beberapa abad lamanya sebelum kedatangan Islam. Adapun Islam sudah tersebar pula di sana sebelum Muhammad dan Muslimin hijrah ke kota itu.45 Sewaktu mereka tiba di sana, kaum Yahudi dan musyrik menyambut kedatangan mereka dengan baik.46 Pihak Yahudi berbuat demikian dengan dugaan mereka akan dapat membujuknya sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah Jazirah Arabia, dengan demikian mereka dapat membendung penyebaran Kristen. Selain mereka yakin lahan dakwah Muhammad tidak akan meliputi mereka, mereka juga saat itu masih terpecah-belah yang memaksa mereka tidak terburu-buru menyatakan permusuhannya terhadap Muslimin seraya menanti waktu yang tepat untuk itu.47 Bertolak dari pertimbangan serupa, kaum musyrik sisa-sisa suku Aus dan Khazraj berbuat serupa seperti kaum Yahudi.48 Di balik itu secara diam-diam, sebagian kaum Yahudi sudah berniat jahat terhadap dakwah Islam sejak awal mula kedatangan Muhammad di Yatsrib, beliau pun telah menyadarinya.49

Di Yatsrib (kemudian dirubah menjadi Madinah), Muhammad memulai fase perpolitikan baru dengan tujuan meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi yang sebelumnya belum pernah dikenal di seluruh wilayah Hijaz,50 yaitu dengan cara mengadakan kesepakatan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang amat kuat. Beliau berbicara serta mendekati pemuka-pemuka mereka dan membentuk suatu ikatan persahabatan dengan pertimbangan, bahwa mereka adalah Ahli Kitab dan kaum monotheistis. Perjanjian ini berisi pengakuan atas kebebasan beragama, harta beda benda mereka dengan syarat-syarat timbal balik, kebebasan menyatakan pendapat, larangan berbuat kejahatan, bersama-sama memerangi orang yang melanggarnya serta memerangi pihak yang menyerang Madinah dan menanggung biaya peperangan itu atau lain sebagainya.51

Pada tahun pertama Muhammad di Madinah, jaminan kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, menyatakan pendapat dan menjalankan propaganda agama, beliau berikan kepada semua umat beragama. Beliau sadar betul, hanya dengan kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat.52 Namun setelah berselang beberapa waktu, pihak Yahudi mulai merasa cemas karena ajaran-ajaran Muhammad serta teladan dan bimbingannya telah meninggalkan pengaruh yang mendalam ke dalam jiwa, sehingga tidak sedikit orang berdatangan menyatakan masuk Islam dan Muslimin makin bertambah kuat di Madinah. Diperparah ketika Abdullah bin Sallam, seorang pendeta Yahudi, menyatakan diri masuk Islam, sejak saat itu kaum Yahudi dan musyrik berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Polemik pun meledak antara Muslimin dengan kaum Yahudi yang ternyata lebih bengis dan licik daripada polemik dengan kaum Quraisy di Mekkah. Mereka menyerang Muhammad, risalah serta para sahabatnya dengan menggunakan intrik-intrik melalui para pendeta mereka, ilmu tentang sejarah dan peristiwa masa lampau mengenai para nabi dan rasul, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menimbulkan perselisihan di kalangan Muslimin. Mereka mendebat Muhammad seputar kenabiannya, Ibrahim dan millah-nya, kenabian Isa, penghapusan hukum (nasakh), perubahan kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Ka'bah, kehalalan dan keharaman makanan dan keistimewaan Masjid al-Haram.53

Tidak cukup dengan menimbulkan insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan Aus dengan Khazraj dan tidak cukup pula dengan membujuk Muslimin supaya meninggalkan Islam dan kembali ke musyrikan tanpa mengajak mereka menganut Yahudi, pihak Yahudi itu mulai berusaha memperdaya Muhammad melalui pemuka-pemuka mereka. Dengan tujuan, Muslimin akan keluar meninggalkan Madinah sebagaimana mereka meninggalkan Mekkah.54 Mereka melakukannya secara diam-diam selain karena dikhawatirkan kepentingan perdagangan mereka akan kacau bila sampai berkobar perang saudara antara penduduk Madinah, mereka juga masih memelihara perjanjian perdamaian dengan Muslimin. Muslimin menyadari semuanya, Muhammad pun tidak hanya tinggal diam dan mulai bertindak tegas.55

Ketika berita kemenangan Muslimin dalam perang Badr melawan kaum Quraisy datang, kaum musyrik dan Yahudi merasa terpukul sekali. Mereka berusaha meyakinkan diri mereka dan Muslimin kesalahan berita itu.56 Dampak perang Badr terlihat jelas dan erat kaitannya dengan kehidupan umat Islam di Madinah. Kaum Yahudi dan musyrik merasakan sekali bertambahnya kekuatan dan kewibawaan Muslimin, yang hampir menguasai seantero penduduk Madinah. Mereka mulai menggencarkan permusuhan terhadap Muslimin, malah kini bukan hanya termotivasi oleh faktor agama tetapi sudah merambah ke faktor politik. Sayangnya, Muhammad sudah mengetahui semua rahasia dan berita itu.57 Sehingga ancang-ancang langkah selanjutnya sudah pula dipikirkannya.

Paska pembunuhan Abu 'Afak, Ashma' binti Marwan dan Ka'b bin Asyraf, pihak Yahudi kian mencemaskan nasib mereka. Diperparah oleh tindakan memalukan seorang Yahudi terhadap seorang wanita Arab yang sedang berbelanja di pasar Bani Qaynuqa, yang harus merenggut nyawa seorang Yahudi dan Muslim. Perkara ini menjelma sumbu peledak pertikaian antara mereka, Muslimin pun mengepung kaum Yahudi Bani Qaynuqa selama lima belas hari berturut-turut, akhirnya mereka menyerah dan kudu meninggalkan Madinah (624 M). Pengusiran ini mempersurut kekuasaan Yahudi di sana, sebagian besar kaum Yahudi yang disebut-sebut dari Madinah ini, mereka tinggal jauh di Khaybar dan Wadi'il-Qura. Apalagi setelah Muhammad menghalalkan darah mereka sesudah kejadian itu, yaitu pada tahun kedua paska hijrah. Oleh karenanya, mereka berbicara lama dengan beliau yang kemudian diputuskan untuk mengadakan perjanjian bersama dan menghormati isinya.58

Di sela-sela itu perang Uhud pecah antara Muslimin dan pihak Quraisy, di mana dalam perang itu Muslimin menderita kekalahan. Kekalahan ini turut mempengaruhi kancah perpolitikan di Madinah. Diperkeruh lagi oleh malapetaka yang menimpa Muslimin di Raji` dan Bi`ir Ma'una yang turut mengikis kewibawaan mereka di mata kaum Yahudi dan musyrik. Bani Qaynuqa telah dikepung dan diusir dari Madinah, kini giliran Bani Nadzir menerima perlakuan serupa karena telah melanggar isi perjanjian dengan Muslimin (625 M). Tindakan ini dilakukan Muslimin karena eksistensi mereka di sana akan memotivasi, menimbulkan bibit-bibit fitnah, mengajak golongan munafik untuk mengangkat kepala setiap melihat pihak Muslimin mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang saudara bila ada musuh menyerang Muslimin. Suasana Madinah menjadi tenteram setelah Bani Nadhir meninggalkan kota itu. Yang penting dicatat di sini, sekretaris Muhammad paska hijrah hingga kejadian ini adalah orang Yahudi. Dengan tujuan, memudahkan pengiriman surat-surat dalam bahasa Ibrani dan Asiria.59

Babakan selanjutnya, para pemuka Bani Nadhir berencana menghasut masyarakat Arab. Mereka minta bantuan kerjasama dari Quraisy dan Ghatafan. Setelah kesepakatan terajut, mereka bersatu-padu dengan 10.000 bala tentara (pasukan Ahzab) hendak memerangi Muslimin. Karena kekuatan musuh super jumbo, maka dengan usulan Salman al-Farisi Muslimin menggali parit di sekitar Madinah sebagai strategi perang. Musuh pun tidak bisa menembus parit itu, mereka hanya bertahan lama tidak jauh dari sana. Akhirnya mereka membujuk Bani Quraydzah supaya bersatu dan melanggar perjanjian mereka dengan Muslimin, karena dengan cara ini, mereka akan dapat menembus masuk Madinah. Muslimin mendengar perkara tersebut, dengan langkah cepat Muhammad mengutus delegasi kepada mereka. Adu mulut pun pecah antara delegasi Muslimin dengan Bani Quraydzah, mereka memilih berkhianat, bergabung dengan pasukan Ahzab dan membukakan jalan bagi mereka bahkan memberi bala bantuan dan makanan kepada sekutu barunya.60 Di sekitar parit, hanya gesekan kecil saja yang meletus antara pasukan Ahzab dan Muslimin. Kini Muhammad mulai mendedahkan strategi, selain mengutus delegasi ke Ghatafan dengan menjanjikan mereka sepertiga hasil buah-buahan Madinah asalkan mau pergi meninggalkan tempat itu, beliau juga mengutus Nu'aim bin Mas'ud untuk mengadudomba Bani Quraydzah dengan Qurays dan Ghatafan. Intrik-intrik Nu'aim berhasil memecahbelah persekutuan mereka. Pihak Quraisy tidak percaya Bani Quraidzah lagi, sedangkan Ghatafan selain berpikiran serupa dengan Quraisy, ia juga maju mundur karena terbuai oleh janji Muslimin. Pada suatu malam, kencangnya angin topan disertai hujan lebat dengan gemuruh petir dan halilintar, merusak kemah-kemah Quraisy yang akhirnya membuat mereka memutuskan untuk kembali ke Mekkah.61

Karena ulahnya, Bani Quraydzah kudu menanggung akibatnya. Muslimin mengepung mereka selama dua puluh lima malam, selama pengepungan terjadi bentrokan kecil antara kedua belah pihak. Menyadari keterbatasannya, Bani Quraydzah mengutus orang kepada Muhammad dengan permintaan untuk mengirimkan Abu Lubaba dari Aus kepada mereka untuk dimintai pendapatnya. Muhammad menyetujuinya dan mereka pun berunding dengan keputusan mereka akan pergi ke Adhri`at, tetapi beliau menolaknya. Oleh karena itu, mereka minta bantuan kepada Aus yang akhirnya mampu merubah keputusan Nabi, beliau meminta seorang untuk menengahi persoalan tersebut. Bani Quraydzah memilih Sa'ad bin Mu'adz, mereka berunding dengan keputusan, mereka harus turun dari benteng, meletakkan senjata, bagi pelaku kejahatan perang dari mereka dijatuhi hukuman mati, harta benda dibagi, wanita dan anak-anak ditawan (627 M).62

Muhammad masih khawatir sekiranya nanti Heraklius atau Kisra datang meminta bantuan Yahudi Khaybar yang merupakan koloni Isra`il yang terkuat dengan persenjataan terkuat pula, atau dendam lama dalam hati mereka itu akan bangkit kembali, atau juga mengingatkan mereka kepada nasib saudara seagama mereka, Bani Qaynuqa. Wajar sekali mereka akan mengadakan pembalasan bila saja mereka mendapatkan bala bantuan dari pihak Heraklius. Selain itu beberapa utusan mereka telah memperkuat pasukan Ahzab dalam perang Khandaq. Setelah kalahnya pasukan Ahzab, mereka juga berkomplot dengan Bani Ghatafan dan orang-orang Arab badui untuk memerangi Muslimin. Kalau memang demikian, kekuasaan mereka harus ditumpas habis secepatnya, sehingga mereka sama sekali tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan di negeri-negeri Arab. Beliau memerintahkan seribu tujuh ratus Muslimin menyerbu Yahudi Khaybar. Akan tetapi pihak Yahudi Khaybar memang sudah menantikan penyerangan ini, mereka pun bersiap-siap dan meminta bantuan Ghatafan. Sebelum perang meledak, Muslimin sudah menewaskan pemimpin-pemimpin Yahudi Khaybar. Kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan di sekitar benteng Natat dan pertempuran mati-matian akhirnya meletus. Pihak Yahudi Kahybar terpaksa mundur dan mereka terkepung selama beberapa hari di dalam sebuah benteng. Muslimin berhasil menerobos benteng Qamush itu dan perang pun berkobar di antara mereka. Akhirnya benteng-benteng mereka satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin. Sejak itulah Yahudi Khaybar mulai putus asa dan minta damai, permintaan ini dikabulkan. Muhammad memperlakukan mereka tidak sama seperti Yahudi Bani Qaynuqa dan Bani Nadhir karena dengan jatuhnya mereka, beliau merasa terjamin dari bahaya mereka dan yakin bahwa mereka tidak akan bisa melawan lagi. Selain itu di sana juga terdapat beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma yang masih memerlukan tenaga ahli untuk mengurusnya.63

Setelah itu, Muhammad mengutus seorang ke Yahudi Fadak supaya mereka menerima seruannya dan menyerahkan harta benda mereka. Mengetahui kejadian di Khaybar, mereka merasa ketakutan dan persetujuan pun diadakan dengan menyerahkan separuh harta mereka tanpa pertempuran. Sesudah itu Muslimin hendak kembali ke Madinah melewati Wadi'l Qura. Tetapi kaum Yahudi di sana sudah menyiapkan diri hendak menyerang mereka, pertempuran pun pecah akan tetapi pihak Yahudi terpaksa menyerah dan minta damai. Sebaliknya Yahudi Tayma` bersedia membayar jizyah tanpa peperangan. Persetujuan antara Muslimin dengan Yahudi Bani Ghazia dan Bani 'Aridz juga tercipta bahwa mereka akan memperoleh perlindungan (dzimmah) dan mereka dikenakan pajak. Dengan demikian semua kaum Yahudi tunduk kepada kekuasaan Muhammad.64

Dengan ini, kekuatan dan kewibawaan Muslimin kian bertambah di Madinah. Orang-orang munafik tidak berani bersuara lagi. Semua masyarakat Arab sudah mulai berbicara tentang kekuatan dan kekuasaan Muslimin. Sedangkan Muslimin merasa lega setelah pihak Yahudi di sekitar Madinah dapat dibersihkan, mereka pun tidak punya apa-apa dan hanya bertahan selama enam bulan di sana. Mereka bersama Muslimin menyusun suatu masyarakat Arab dengan cara yang belum mereka kenal sebelumnya di bawah naungan Islam. Dalam waktu singkat, Islam telah membukakan jalan dalam meletakkan bibit kebudayaan, yang kemudian tersusun dari peradaban Persia, Romawi, Mesir, serta diwarnai dengan pola peradaban Islam.65

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertentangan antara Muslimin dengan kaum Yahudi di Madinah lebih dipicu oleh faktor politik ketimbang faktor teologis. Maka sudah sewajarnya, bila ayat-ayat al-Qur`an yang turun di Madinah lebih terwarnai dengan pembeberan kemunafikan Yahudi serta bahayanya, perdebatan dengan Ahli Kitab, menyingkap kriminalitas mereka dalam merubah kitab suci, pensyariatan perang dan lain sebagainya.66 Walaupun demikian, Muhammad acapkali tetap menghormati mereka serta keyakinannya, tidak pernah mengusik jalannya ritual-ritual keagamaan Yahudi. Inilah ilustrasi ajaran Islam sesungguhnya sebagai agama penebar kasih sayang dan anti segala tindak kekerasan dan kelaliman. Di sini pula kita dituntut untuk memahami ayat al-Qur`an dan Hadits versi Madinah dengan konteks kesejarahannya. Karena tidak sedikit dari keduanya yang berbau politis seirama dengan kancah politik di Madinah atau sekitar Jazirah Arabia. Jika ini tidak dilakukan, maka ketimpangan pemahaman rentan terjadi yang akan menimbulkan dampak serius bagi umat Islam.

Islam vis â vis Kristen
Setelah mengurai pergumulan Islam dengan Yahudi, kita beralih pada pembahasan seputar Islam dan Kristen yang juga tergolong kaum Ahli kitab selain Yahudi. Pembahasan ini sama dengan pembahasan sebelumnya, yaitu lebih memberikan porsi penekanan pada interaksi antarpemeluk (inter-follower) dan interaksi antarnilai (inter-value) antara Islam dan Kristen pada zaman Muhammad.

Sebagaimana Yahudi, perdebatan perihal Kristen sebagai agama samawi atau bukan juga masih dalam perdebatan. Persoalan ini tidak akan kita bahas secara detail di sini karena kurang cocok dengan pembahasan kita kali ini. Persoalannya senada dengan Yahudi, asumsi dominan yang berkembang di kalangan mayoritas umat Islam saat ini, bahwasanya Kristen adalah agama yang dibawa oleh Isa (Yesus) yang telah diselewengkan oleh para pengikutnya. Umat Kristiani saat ini meyakini bahwa ajaran mereka bermuara dari satu muara dengan Islam yaitu Tuhan. Tidak heran bila di samping terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara keduanya, di sana juga beberapa kesamaan doktrin dapat ditemukan.

Di Jazirah Arabia sebelum dan saat Muhammad hidup, umat Kristiani berjumlah banyak. Sebagaimana ajaran Yahudi, ajaran Kristen di sana telah terpengaruhi oleh kebudayaan Yunani. Di Jazirah Arabia terdapat dua sekte Kristen yang tersebar yaitu sekte Nestorian dan Yakobit. Yang pertama tersebar di Hirah sedangkan yang kedua tersebar di Ghassan dan seluruh kabilah Syam. Umat Kristiani juga mendiami daerah Aila (Elath), Dawmat al-Jandal, Tayma`, tetapi kota terpenting bagi umat Kristiani adalah Najran yang bersekte Yakobit dan punya relasi lebih besar dengan Abissinia (Habasyah) daripada dengan Romawi.67 Menurut Will Durant, umat Krsitiani di Mekkah hanya sedikit.68 Mereka terpecah dalam dua sekte, yaitu Nestorian dan Monofisit (Yakobit dan Copt). Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sedikitnya jumlah mereka di sana mungkin disebabkan oleh adanya peraturan kala itu yang tidak memperbolehkan seorang pun dari Ahli Kitab memasuki Mekkah, kecuali tenaga kerja yang tidak akan bicara tentang agama atau kitabnya. Lantaran sistem masyarakat di Mekkah kala itu merujuk pada sistem kabilah, maka tempat tinggal mereka pun jauh dari Ka'bah malah sudah berbatasan dengan sahara.69

Seperti kaum pagan dan Yahudi, mereka juga mempunyai hak untuk mendakwahkan Kristen kepada semua orang setiap bulan-bulan suci di Ukadz.70 Dalam buku-buku sejarah, kisah-kisahnya seringkali diwarnai seputar relasi dekat Muhammad dengan Waraqah bin Nawfal, seorang Kristiani yang banyak tau tentang Injil dan diduga telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.71 Pun demikian, kisah-kisah perbincangan mereka tentang akan datangnya seorang nabi di Jazirah Arabia, semisal pertemuan Muhammad dengan seorang pendeta, Buhaira, di Bushra (Bostra) saat perjalanan pertamanya ke Syam dan kisah-kisah lain mengenai relasi beliau dengan umat Kristiani. Acapkali pihak non-muslim atau lebih "canggihnya" para orientalis, memanfaatkan kisah-kisah kayak ini untuk menguatkan tuduhan mereka terhadap orisinalitas ajaran-ajaran Islam yang tertuang di dalam al-Qur`an, sehingga turunlah ayat ke 103 surah al-Nahl.72

Suasana interaksi Islam dengan Kristen di Mekkah tidak begitu panas seperti ia dengan paganisme. Selain kaum pagan, kaum Yahudi dan Kristiani juga pernah singgah di kediaman Muhammad demi mendengarkan seruannya. Disebabkan kegigihan dan keelokan bahasanya, segelintir orang dari mereka datang dan menerima seruannya.73 Menurut Heribert Busse, interaksi keduanya tidak seseru antara Islam dan Yahudi. Pada mulanya Muhammad sangat baik kepada umat Kristiani, tetapi paska hijrah ke Madinah hubungan antara keduanya kian memburuk. Pada tahun 614 M yaitu sekitar empat tahun dari dakwahnya, Muhammad berhubungan baik dengan umat Kristiani. Pada waktu itu Romawi Timur yang beragama Kristen kalah dalam perang melawan Persia yang beragama Majusi, tetapi dalam kesempatan yang sama ayat dari surah al-Rum turun dan menegaskan bahwa kelak beberapa tahun yang akan datang Romawi Timur akan mengalahkan Persia.74 Nah, Pada tahun 625 M ternyata al-Qur`an benar, Heraklius menang melawan Persia. Kala itu umat Muslim dan Kristiani amat gembira dengan berita kemenangan itu. Hubungan persaudaraan antara mereka yang menjadi pengikut Muhammad dan yang percaya kepada Isa, selama hidup Muhammad, besar sekali, meskipun antara keduanya sering terlibat dalam perdebatan.75

Sewaktu Muslimin ditimpa pelbagai siksaan dan tekanan dari Quraisy, Muhammad memerintah mereka hijrah ke Abissinia (Habasyah/ Ethiopia) yang mayoritas penduduknya beragama Kristen dan di bawah kekuasaan Negus Kristiani, Ashhamah bin Abhar, yang waktu itu menjadi sekutu Rumawi Timur dan memegang panji Kristen di Laut Merah. Inilah bukti pertama atas relasi dakwah Muhammad dengan jaringan-jaringan di luar Jazirah Arabia.76 Di sana interaksi antara umat Muslim dan Kristiani sangat harmonis, selama di sana pula Muslimin merasa aman dan tentram. Negus pernah menolak delegasi Quraisy untuk mengembalikan Muslimin ke Mekkah.77

Pada masa permulaan Islam, umat Kristiani pernah mendebat Muslimin seputar konsep trinitas. Umat Kristiani seluruh Jazirah Arabia dengan bermacam-macam alirannya mengajak Muhammad berdebat menurut dasar aliran-aliran tersebut. Namun yang perlu digarisbawahi di sini, perdebatan antara mereka berjalan dengan baik, mereka baru terlibat permusuhan politik sejak pasukan Rumawi dipukul mundur oleh Muslimin di perang Tabuk.78

Dari Mekkah kita beranjak ke Madinah. Saat sengit-sengitnya polemik antara Muhammad dengan kaum Yahudi paska hijrah ke Madinah, delegasi Kristen Najran tiba di sana yang terdiri dari enam puluh buah kendaraan. Boleh jadi kedatangan mereka ke sana karena mendengar adanya polemik itu dan berusaha mengobarkannya sampai menjadi permusuhan terbuka. Ini berarti tiga agama itu sekarang telah berkumpul dalam pertarungan teologis. Kejadian ini sampai sekarang saling mempengaruhi perkembangan dunia. Di sana ketiganya bertemu demi suatu tujuan dan cita-cita yang tinggi dan mulia. Ini bukanlah suatu pertemuan ekonomi, juga bukan suatu tujuan materi tetapi semata-mata hanya tujuan rohani. Muhammad mengajak mereka memeluk Islam. Umat Kristiani diajak saling berdoa (mubahalah) (Qs. 3: 61). Sedangkan waktu itu Muslimin dengan Yahudi sudah ada perjanjian perdamaian.79

Pertempuran antara Muslimin dengan Romawi yang beragama Kristen juga pernah terjadi ketika Muhammad masih hidup, yaitu ketika beliau hendak menyebarkan ajarannya ke luar semenanjung Arab. Ceritanya begini, perhatiannya tertuju pada Syam dan sekitarnya yang pada waktu itu masih dalam kekuasaan Romawi. Beliau mengutus tiga ribu orang ke sana yang kemudian berhadapan dengan seratus ribu tentara Romawi yang terdiri dari orang Yunani dan Arab di Mu`ta. Ahli sejarah bersilang pendapat mengenai penyebab ekspedisi Muhammad yang dikenal dengan ekspedisi Mu`ta dan merupakan pendahuluan perang Tabuk, tetapi kita tidak akan membahasnya di sini. Menurut sebuah pendapat, pasukan Romawi dipimpin langsung oleh Heraklius tetapi ada juga yang berpendapat bahwa mereka dipimpin oleh saudaranya, Theodore. Di peperangan ini, masing-masing menarik diri pasukannya, atau bisa dikatakan antara keduanya tidak ada yang menang ataupun menderita kekalahan.80

Penarikan mundur ini meninggalkan kesan bagi Romawi, Muslimin, dan Quraisy. Ini karena kecermelangan strategi perang Khalid bin al-Walid. Oleh karena itu pula, seorang komandan pasukan Romawi, Farwa bin 'Amr al-Judhami menyatakan masuk Islam yang akhirnya dibunuh dan Islam makin luas tersebar di kalangan kabilah-kabilah Najd yang berbatasan dengan Irak dan Syam yang ketika itu Romawi sedang berada di puncak kekuasaannya di daerah itu. Dengan bertambah banyaknya orang masuk Islam, Kerajaan Bizantium makin goyah kedudukannya. Peristiwa Mu`ta itu pula yang telah memudahkan persoalan Muslimin di bagian utara Madinah sampai ke perbatasan Syam dan telah membuat Islam lebih terpandang dan kuat. Karenanya ribuan orang masuk Islam dari kabilah Sulaim, Asyja', 'Abs, Dhubyan, Fazara dan Ghatafan yang dulu pernah bersekutu dengan Yahudi sampai hancurnya Yahudi di Khaybar. Tetapi kejadian ini pula meyebabkan pihak Quraisy meremehkan Muslimin dan melanggar perjanjian Hudaibiyah.81

Berselang beberapa waktu setelah itu, terdengar kabar bahwa Romawi sedang bersiap-siap menyerang perbatasan tanah Arab sebelah utara. Dengan segera Muhammad menyerukan seluruh Muslimin dengan pasukan sebesar mungkin untuk menghadapinya. Pasukan yang dikenal dengan pasukan 'Usra itu pun berangkat hingga ke Tabuk. Setelah mendengar besarnya pasukan musuh, pihak Romawi merasa getir dan menarik mundur pasukannya yang tadinya telah dikerahkan ke perbetasan untuk melindungi Syam. Muhammad mendengar kabar ini dan memutuskan untuk menetap di perbatasan, menjaganya serta menghadapi siapa saja yang akan menyerangnya. Di sana Muhammad mengirim surat ke seorang amir Aila (Elath), Youhanna bin Ru'ba, yang akhirnya memeluk Islam dan membuat kesepakatan perdamaian, begitu pula dengan Jarba' dan Adhruh dengan membayar jizyah.82

Dengan ekspedisi Tabuk ini maka selesailah amanat Tuhan diajarkan ke seluruh Jazirah Arabia, Muhammad sudah merasa aman dari setiap permusuhan yang akan ditujukan kepada Islam. Utusan-utusan dari pelbagai daerah sekarang datang menghadap kepadanya dengan menyatakan sekali kesetiaanya serta mendeklarasikan pula keislamannya. Inilah ekspedisi terakhir bagi Muhammad. Sesudah itu beliau menetap di Madinah seraya menikmati karunia pemberian Tuhan padanya.83 Umat Kristiani juga hidup berdampingan dengan Muslimin di Najran hingga peristiwa pengusiran mereka pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab yang menyebabkan mayoritas dari mereka hijrah ke Irak.84

Telah diungkapkan di atas, bahwa antara Muslimin dan umat Kristiani telah terjadi perdebatan mengenai perbedaan doktrin dalam agamanya masing-masing, sebagaimana terekam di dalam al-Qur`an. Pada masa Muhammad, keduanya terlibat dalam dua pertentangan sekaligus, yaitu pertentangan teologis dan pertentangan politik. Adapun pertentangan politik di antara mereka baru terjadi ketika Muslimin menghadapi Romawi di Mu`ta dan Tabuk. Setelah itu, Muhammad melindungi mereka seraya tetap memberikan kebebasan penuh untuk menjalankan aneka ritual keagamaan dengan konskuensi membayar sedikit pajak.85 Jadi apakah gerangan pengaruh Islam atas Kristen? Pengaruhnya tergambar dalam dua hal: pertama, pada ketangkasan dakwah Muhammad yang tergambargan dari kelembutan dan keelokan bahasanya; kedua, keunggulan kekuasaan Muslimin yang berdampak pada ranah politik dan ranah-ranah lainnya.

Setelah mengetahui karakter kaum Yahudi dan Kristen pada masa Muhammad, tidak heran jika kita temukan di dalam al-Qur`an beberapa metode guna mengajak mereka memeluk Islam. Pertama, mengajukan bukti atas kebenaran Muhammad, yaitu dengan cara mengingatkan mereka bahwa Muhammad adalah Nabi yang mereka temukan secara tertulis di dalam Taurat dan Injil (Qs. 7:156-158), mengingatkan mereka bahwa Muhammad adalah Nabi yang diberitakan Isa (Qs. 61: 6), menunjukkan mereka bahwa Muhammad adalah seorang yang dengannya mereka minta bantuan kepada Tuhan untuk memenangkan mereka atas "kaum kafir" dan menunjukkan mereka bahwa al-Qur`an membenarkan kitab-kitab suci terdahulu. Kedua, menunjukkan mereka bahwa ajaran yang diserukan Muhammad pada dasarnya sama dengan ajaran yang diserukan para nabi terdahulu (Qs. 42: 13, 21: 25). Ketiga, membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam dengan metode yang lembut dan bijaksana atau tepat (al-maw'idzah al-hasanah) (Qs. 3: 64, 5: 15-16 dan 19). Keempat, memperingati mereka dengan siksaan yang akan datang secara cepat atau lambat jika mereka tidak mengikuti Muhammad (Qs. 4: 47-48, 8: 24). Kelima, memberitahukan mereka bahwa perselisihan mereka dalam persoalan agama disebabkan oleh kelaliman dan kedengkian (Qs. 3: 19, 45: 17, 42: 14). Keenam, mengabari mereka bahwa al-Qur`an memberitakan yang benar mengenai perselisihan mereka (Qs. 27: 76). Ketujuh, mengajukan bukti kepada mereka dengan meminta mereka untuk menjadi saksi atas kebenaran Muhammad (Qs. 10: 94).86

Tidak hanya itu, kita bisa menemukan ekspresi-ekspresi keadilan Islam terhadap dua golongan Ahli Kitab tersebut, yaitu mendeskripsikan mereka sebagai Ahli Kitab (kaum yang memiliki kitab suci) (Qs. 3: 98-99, 28: 52-54), keadilan hukum-hukum al-Qur`an atas mereka (Qs. 2: 83, 3: 113-115), mendebat mereka dengan baik (Qs. 29: 46), membolehkan mengkonsumsi makanan mereka serta menikahi (perempuan) mereka (Qs. 5: 5), menerima jizyah mereka serta tidak menerimanya dari kaum musyrik (Qs. 9: 29) dan berinteraksi dengan mereka berdasarkan asas "lahum mâ lanâ wa 'alayhim mâ 'alaynâ".87

Islam vis â vis Para Penguasa
1. Islam dan Pemuka Quraisy
Karena pada masa Muhammad Islam juga berhadapan dengan para penguasa, maka ulasan berikutnya lebih difokuskan pada sikap Islam terhadap mereka yang pernah berinteraksi dengan Muslimin. Hal ini juga bisa membantu kita memahami Islam dengan baik. Dengan alasan, tidak sedikit ayat al-Qur`an atau Hadits yang berlatar belakang politis yang terjadi pada abad VI M. Jadi, di sinilah seorang Muslim dituntut untuk menafsirkan ayat-ayat politis secara kontekstual seirama dengan spirit zaman masing-masing.

Ketika Muhammad lahir hingga peristiwa pembebasan Mekkah, Mekkah sebagai medan awal dakwah Islam dikuasai oleh suku Quraiys. Pada awal mulanya, Muhammad menyerukan Islam kepada orang-orang terdekat secara diam-diam. Lambat-laun ajarannya sampai di telinga para pemuka Quraisy, mereka berang lantaran merasa sembahan-sembahan mereka telah dilecehkan dan posisi sosial mereka juga telah terancam. Merasa berkuasa dan lebih kuat, mereka senantiasa menekan Muslimin dengan menimpakan bermacam-macam penyiksaan serta berbagai cara busuk lainnya. Saat menghadapi mereka, Muhammad bertindak tegas serta tidak mau berkompromi sedikitpun mengenai kepercayaan, beliau tegar dan begitu pula Muslimin. Beberapa kali beliau ditawari kenikmatan duniawi asalkan mau berhenti berdakwah, tetapi beliau mengenyahkannya. Karena tidak mempunyai kekuatan, beliau memanfaatkan bulan-bulan suci untuk berdakwah, lantaran saat itu segala peperangan dilarang.

Tekanan Quraisy kian berlarut-larut, sementara Muslimin kala itu hanya komunitas kecil yang tidak berdaya untuk melawan, hanya keimanan senjata mereka. Mereka cuma bisa bersabar dan melawan ala kadarnya. Akhirnya demi kemaslahatan Islam dan pemeluknya, Muhammad memilih menyingkir dengan keimanan di dada dengan menyuruh Muslimin untuk hijrah ke Abissinia, sebuah kerajaan dengan mayoritas penduduk beragama Kristen,88yang di bawah kekuasaan Negus Kristiani, Ashhamah bin Arhab. Karena antara Muhammad dengan raja itu telah terikat tali persahabatan, maka wajar bila Muhammad meminta bantuan kepadanya untuk melindungi Muslimin di sana.

2. Islam dan Para Penguasa
Menurut Heribert Busse, pada awalnya Muhammad dengan umat Kristiani terikat dalam suatu relasi yang baik, tetapi paska hijrah ke Madinah relasi baik kian memburuk.89 Sebagaimana di singgung sebelumnya, relasi Muhammad dengan mereka di luar Jazirah Arabia juga terjalin dengan baik, yaitu relasi baik beliau dengan Negus penguasa Abissinia yang tergambar dari adanya surat-menyurat dan kerjasama keduanya.90 Memang benar pada awal mula kedatangan Islam terjadi perdebatan antara Muslimin dengan umat Kristiani, tetapi bentrokan Muhammad dengan para pemuka Kristen di Mekkah yang berujung pada adu kekuatan para pengikutnya tidak pernah terjadi.

Paska hijrah ke Madinah, mendekati para pemuka Yahudi dan kaum musyrik dan sempat berbicara panjang lebar yang akhirnya membuahkan perjanjian perdamaian dengan kaum Yahudi, kendati pada saat itu kaum Yahudi Bani Quraydzah, Bani Qaynuqa' dan Bani Nahdir tidak ikut serta menandatanganinya, tetapi tidak terlalu lama setelah itu mereka membuat perjanjian serupa dengan Muhammad.91 Seringkali Muhammad membuat perjanjian semacam itu dengan mereka, toh meskipun mereka sering bandel melanggarnya yang berujung pada pengusiran mereka dari Madinah. Selain itu pula, seringkali terjadi debat teologis antara Muhammad dengan para pemuka Yahudi. Pernah suatu ketika salah seorang pemuka Yahudi, Abdullah bin Sallam, bertanya kepada beliau tentang tiga perkara yang akhirnya bisa membuatnya percaya kepada Muhammad seraya tidak segan-segan memeluk Islam.

Ketika kekuasaan Islam di Madinah mulai menguat, Muhammad mengirim surat melalui utusan-utusannya kepada para penguasa di sekita Jazirah Arabia. Seperti ke Heraklius penguasa Romawi, Kisra penguasa Persia, Muqauqis penguasa Koptik di Mesir, Negus di Abissinia, Harith al-Ghassani penguasa Hira, Harith al-Himyari penguasa Yaman dan lain sebagainya. Surat kepada Heraklius dibawa oleh Dihya bin Khalifa, surat kepada Kisra dibawa oleh Abdullah bin Hudhafa, surat kepada Negus dibawa oleh 'Amr bin Umayya, surat kepada Muqauqis dibawa oleh Hatib bin Abi Balta`a, surat kepada penguasa Omman dibawa oleh 'Amr bin al-'Ash, surat kepada penguasa Yamamah dibawa oleh Salit bin 'Amr, surat kepada raja Bahrain dibawa oleh al-A'la bin al-Hadhrami, surat kepada Harith al-Ghassani, raja perbatasan Syam, dibawa oleh Syuja' bin Wahb, surat kepada Harith al-Himyari, raja Yaman, dibawa oleh Muhajir bin Umayya. Isi semua surat itu adalah mengajak mereka memeluk Islam.92

Tanggapan terhadap surat itu beragam. Setelah dibacakan di depan Heraklius, dia tidak geram atau murka dan tidak pula berencana hendak mengirim angkatan perangnya menyerbu negeri-negeri Arab. Sebaliknya surat itu dibalasnya dengan baik sekali. Dalam waktu bersamaan Harith al-Ghassani menerima surat serupa, setelah itu dia meminta persetujuan Heraklius untuk menyerang Muhammad, tetapi dia tidak menurutinya. Adapun Kisra raja Persia setelah membaca surat itu, dia murka sekali dan menyobeknya. Sepucuk surat itu dikirimnya kepada Bazan, penguasanya di Yaman dengan perintah agar kepala Muhammad segera dibawa kepadanya. Bazan pun mengirim utusan dengan sepucuk surat ke Muhammad dan ketika itu beliau telah mendengar kabar bahwa Kisra telah diganti oleh putranya Syiruya (Kavadh II) dan memberitahukannya kepada utusan-utusan Bazan itu dan diperintahya mereka menjadi utusan-utusannya kepada Bazan untuk memeluk Islam. Dengan senang hati Bazan pun menerima ajakan Muhammad dan tetap menjadi penguasa Muhammad di Yaman. Jawaban Muqauqis tidak sama dengan Kisra, malah lebih indah daripada jawaban Heraklius. Dia mengatakan kepada Muhammad bahwa dia memang percaya akan datang seorang Nabi, tetapi di Syam bukan di Mekkah. Muqauqis menyambut utusan itu dengan segala penghormatan sebagaimana mestinya. Kemudian dia mengirim hadiah melalui utusan itu berupa dua orang dayang-dayang, seekor bagal putih, seekor himar, sejumlah harta dan bermacam-macam produksi Mesir. Seorang dari dayang-dayang itu, Maria, dinikahi Muhammad. Sebagaimana kita ketahui adanya hubungan amat baik antara Negus di Abissinia dengan Muslimin, maka sudah wajar jika balasan suratnya juga akan amat baik. Tetapi di samping surat yang berisi ajakan untuk memeluk Islam disertai pula sepucuk surat lain dengan permintaan supaya Muslimin yang ada di sana dapat dikembalikan ke Madinah. Dalam hal ini, Negus telah menyiapkan dua bua kapal yang akan mengangkut mereka ke Madinah. Sebaliknya, penguasa-penguasa Arab, baik mereka yang dari Yaman atau Oman membalas surat Muhammad itu dengan amat kasar, sementara penguasa Bahrain membalasnya dengan baik dan masuk Islam. Sebaliknya penguasa Yamamah, dia memperlihatkan kesediaanya untuk masuk asalkan diangkat menjadi gubernur. Karena ambisinya itu, Muhammad mengutuknya.93

Apakakah gerangan yang bisa dipetik dari ulasan tersebut? Ternyata Muhammad tidak pernah gentar menghadapi para penguasa dalam mendakwahkan Islam. Beliau tetap berpegang pada sisi-sisi kelembutan dan tidak pernah memaksa mereka untuk memeluk Islam. Hubungan diplomasi yang digunakan juga tidak tanggung-tanggung, yaitu langsung kepada para penguasa. Barangkali beliau yakin, bahwa cara seperti ini cukup ampuh untuk mendakwahkan Islam melalui jaringan-jaringan politik. Karena sebagaimana jamak diketahui pengaruh politik juga sangat signifikan terhadap penyebaran agama apapun dan di manapun. Dan yang perlu dicatat di sini, bahwa kekuasaan Islam kala itu sudah menguat sehingga dampak negatif yang akan timbul juga tidak akan begitu parah. Barangkali!

Epilog
Islam datang bukan hanya mengobati persoalan ekonomi dan sosial masyarakat Arab, tetapi juga dalam rangka mengatur seluruh aspek hubungan manusia di seantero dunia. Ulasan makalah ini menggambarkan alangkah beratnya misi Muhammad dalam menyerukan Islam kepada masyarakat yang telah memiliki multi nilai.94 Pada faktanya, Islam mampu mengakomodasi semuanya dengan bijaksana, ia tidak mengenyahkan atau mengadopsinya secara hitam putih. Inilah pola penyikapan yang telah diejawantahkan Islam pada masa Muhammad. Konsekuensi tetap saja ada, seirama para reformis ulung lainnya, Muhammad juga menghadapi pelbagai tantangan berat selama perjuangannya menyerukan Islam dalam rangka mereformasi semua aspek kehidupan. Sebagai contoh, dalam aspek sosial tidak ada seorang reformis pun yang tidak merasakan beratnya merubah adat-istiadat suatu masyarakat, apalagi merubah keyakinan (agama) mereka.95 Tidak aneh bila selama Muhammad hidup, pertentangan antara kebenaran dan kebatilan tidak kunjung usai. Tercatat enam puluh lima kali peperangan antara Muslimin versus penentangnya, dua puluh tujuh kali di antaranya dipimpin langsung oleh beliau.96

Pertentangan demi pertentangan yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh faktor teologis, tetapi juga oleh faktor-faktor lain dan inilah yang disebut dengan sistem nilai. Menurut Philip K. Hitti, Islam bisa dilihat dalam tiga aspek, yaitu sebagai agama, negara dan kebudayaan.97 Adapun nilai-nilai yang dimaksud berada dalam tiga aspek Islam tersebut. Pertama, Islam sebagai agama. Dalam ranah ini, Islam kudu berhadapan dengan agama-agama lain, nilai-nilai dalam setiap agama pasti ada persamaan dan perbedaan. Di sini Islam mengoreksi segala kesalahan sekaligus menjadi saksi kebenaran ajaran agama lain, sebagaimana yang terjadi antara Islam dengan paganisme, Yahudi, Kristen dan lain sebagainya. Kedua, Islam sebagai negara. Doktrin Islam ada yang berdimensi politis, maka wajar jika Muslimin acapkali melabuhkan sistem politik mereka kepadanya. Pada masa Muhammad, Islam harus menghadapi segala kekuatan yang menentangnya, tercatat beberapa benturan kekuatan antara Islam dengan suku Quraiys, Yahudi Madinah, Kristen Romawi dan lain sebagainya. Ketiga, Islam sebagai kebudayaan. Karena kebudayaan Islam berlandaskan syariah Islam, sementara syariah Islam bersifat adaptif, adaptatif dan fleksibel, maka kebudayaan Islam bisa berbaur dengan kebudayaan dari peradaban lain. Pada masa Muhammad di Madinah, Islam telah membukakan jalan dalam meletakkan bibit kebudayaan, yang kemudian tersusun dari peradaban Persia, Romawi, Mesir, serta diwarnai dengan pola peradaban Islam.98

Sebagaimana mainstream Ibnu Khaldun, Emile Durkheim dan Max Weber dalam kajian sosiologi agama, seluruh ulasan di atas juga mentahbiskan adanya relasi simbiosis agama sebagai suatu keyakinan transendental dengan tata kemasyarakatan sebagai suatu konstruksi sosial yang imanental.99 Menurut Weber, agama dan masyarakat (sosiologi) tidak akan pernah bisa dilepaskan satu sama lain. Agama dan masyarakat laksana sebuah blangkon yang sisi depan dengan sisi belakangnya memang berbeda namu tidak bisa dipisahkan. Agama adalah "Dimensi Suprarasional" yang inheren dalam eksistensi manusia, di zaman dan kawasan apapun.100 Di sinilah signifikansi pendekatan sosiologis terhadap agama, kita bisa meletakkannya pada tempat yang semestinya. Pengungkapan dimensi-dimensi sosio-kultural masyarakat Arab abad VI M sebagai obyek agama amat penting dilakukan. Usaha semisal ini bisa membantu umat Islam merentekstualisasikan doktrin-doktrin Islam seirama dengan spirit zamannya.

Pendekatan sosiologis tadi banyak mempengaruhi pendekatan teologis dalam memahami Islam. Dalam artian, singkronisasi dua pendekatan tersebut sangat dibutuhkan guna meraih pemahaman tentang Islam dengan baik. Ketimpangan rentan terjadi bila pendekatan teologis mengabaikan pendekatan sosiologis, yang pertama tidak bisa dilepaskan dari yang kedua, begitu pula sebaliknya. Demi mengatasi ketimpangan tadi, pendekatan historis bisa digunakan guna mensinergikan keduanya. Ini dilakukan dengan harapan bisa meminimalisir overdosis serta menambali kekurangan interpretasi atas "teks-teks keagamaan yang telah mati".

Jika sinergi tiga pendekatan ini terwujud, maka sedikit langkah memahami Islam sudah terpenuhi. Bukankah dengan menguasai dengan baik sejarah awal Islam, sosio-kultur masyarakat Arab pada masa Muhammad, teks-teks keagamaan, sejarah para nabi khususnya Muhammad, pemahaman seseorang mengenai Islam akan lebih mendekati "kebenaran" yang benar-benar dikehendaki-Nya. Karena sejatinya, di balik semua klaim kebenaran yang bertolak dari perselisihan pendapat di kalangan umat Islam terdapat satu kebenaran yang paling benar di antara kebenaran-kebenaran lain. Dengan demikian, tidak ada salahnya kalau kita berpegang teguh pada prinsip "sesuatu yang dianggap benar detik ini, bisa jadi berubah menjadi sebuah kesalahan hanya dalam rentang waktu satu detik kemudian". Hal ini mendaku pada sebuah ungkapan cerdas seorang filosof kenamaan dunia, Betrand Russel, yang menyatakan, "sudah sewajarnya jika kita menanyakan kembali sesuatu yang telah dianggap benar, sehingga tidak ada pertanyaan lagi." Bukankah Islam senantiasa menyatakan bahwa hanya dialah satu-satunya agama yang paling benar di muka bumi ini? []
posted by Aan at 7:08 AM 0 comments